Menuju Transmisi Karya Sastra
Bernando J Sujibto
Versi cetak kolom ini dimuat di rubrik buku Jawa Pos, Minggu 04 November 2012.
Sore
itu, 27 Oktober 2012, sebuah lingkaran diskusi di Komunitas Rumahlebah tergelar
sederhana. Raudal Tanjung Banua, Kuswaidi Syafi’ie dan Faisal Kamandobat berada
di kerumunan mereka yang tengah berdisksui dengan tema “Memaknai Keikhlasan Diri (Refleksi Bulan Bahasa dan Hari Raya
Qurban)”, untuk menghantar edisi baru Jurnal Rumahlebah Ruangpuisi. Dan
ternyata benar, seperti dugaan saya, dalam diskusi itu yang muncul adalah diskusi
seputar wacana karya sastra, daripada tentang Hari Raya Qurban.
Sebagai
pembuka diskusi, dengan karakter yang sangat khas—memukau, sesekali membacakan
sajak (karya sendiri ataupun bukan) dengan memejamkan mata karena hafal, tertawa
lepas, dan mengupas literatur sufi dengan amat dalam—Cak Kus, sapaan karib
Kuswaidi Syafi’ie, langsung meneror dengan statemen “kalau penyair itu digdaya, puisinya akan membentuk kenyataan, bukan
(cuma) melukiskan atau menggambarkan kenyataan!”
Satu
statemen yang menyentak; seperti menegaskan ihwal pencapaian yang tak biasa
ditemukan dalam tubuh kesusastraan Indonesia sejauh ini.