Minggu, 15 Juli 2012

Perasaan-Perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya, Kumpulan Puisi Gunawan Maryanto


Judul : Perasaan-Perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya
Penulis : Gunawan Maryanto
Penerbit : Omahsore 2008, Yogyakarta
Tebal : x + 75 hlm; 12.2 x 18 cm
ISBN : 978-979-19047-0-4
Harga: Rp 30.0000,-



WAYANG GUNAWAN MARYANTO
Sapardi Djoko Damono

Agar tidak terlampau banyak menghamburkan kata, puisi modern yang beraksara adalah mitos yang ditulis berdasarkan mitos yang ada sebelumnya. Setidaknya, penyair modern memanfaatkan, lebih dari pawang, dukun, pengamen zaman dulu yang menyebarluaskan kisah secara lisan. Mitos adalah istilah asing yang tidak ada padanannya dalam bahasa kita, Indonesia maupun daerah, dan istilah yang biasa kita pergunakan adalah dongeng, yang mencakup segala pengertian yang dicakup mitos – atau kalau merupakan kumpulan disebut mitologi. Dongeng yang dimanfaat oleh penyair muncul dalam berbagai bentuk dan diproses dengan berbagai cara dan strategi. Penyair bisa saja menggunakan dongeng untuk menggarisbawahi apa yang selama ini tersirat di dalamnya, tetapi juga – sebaliknya – memelintirnya sedemikian rupa sehingga merupakan hasil upaya untuk menawarkan nilai-nilai dan cara baru dalam memandang kehidupan.

Setiap masyarakat menciptakan dongeng sesuai dengan kebutuhan hidup yang sebagian besar ditentukan oleh habitatnya, sejalan dengan ekosistem dan keadaan geografisnya. Dongeng diciptakan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang muncul berkaitan dengan segala sesuatu yang dihadapi masyarakat itu dalam kehidupan sehari-hari, baik yang berupa keadaan alam maupun konsep-konsep yang berkaitan dengan nilai-nilai dan norma. Bahkan bisa dikatakan bahwa dongeng diciptakan justru untuk menegaskan nilai-nilai dan norma-norma yang dikembangkan setelah masyarakat yang bersangkutan berhadapan dengan berbagai pertanyaan yang sulit dijawab dengan cara yang lugas. Dalam masyarakat Jawa, dongeng wayang telah berkembang sedemikian rupa sehingga oleh banyak pihak telah dianggap sebagai wadah untuk merekam pandangan hidup masyarakat itu. Gunawan Maryanto, kebetulan, adalah anggota masyarakat tersebut yang dalam sebagian sajak yang dikumpulkan dalam buku puisi ini memanfaatkan wayang sebagai sandaran strateginya dalam menyampaikan ‘pesan’ atau dongeng – kalau boleh disebut demikian. Atau, setidaknya penyair ini telah mengembangkan strategi untuk memanfaatkan dongeng sebagai cara pengucapan, dan ‘kebetulan’ dongeng yang dimanfaatkannya itu berasal dari kebudayaan yang membesarkannya.

Wayang adalah dongeng yang dikembangkan masyarakat Jawa berdasarkan dongeng yang semula diciptakan oleh masyarakat lain nun jauh di barat, yakni India. Di sini terletak keunikan posisi wayang sebagai dongeng Jawa yang sampai hari ini bertebaran dalam karya sastra kita, yang ditulis oleh Jawa maupun oleh sastrawan yang berasal dari kebudayaan lain. Kalau kita katakan sekarang bahwa Gunawan Maryanto telah memanfaatkan wayang sedemikian rupa agar sesuai dengan situasi komunikasi modern yang telah menuntutnya untuk di sana-sini mengubahnya, dongeng yang diubahnya itu sebenarnya juga merupakan usaha pujangga-pujangga sebelumnya untuk melakukan hal serupa. Demikianlah maka dongeng, dalam masyarakat mana pun, menjadi tradisi karena senantiasa mengalami proses serupa itu. Tradisi adalah proses, bukan sesuatu yang berhenti dan menjadi fosil. Dari sudut pandang ini, Gunawan Maryanto telah melaksanakan tugas sebaik-baiknya untuk memberikan sumbangan dalam menciptakan tradisi dongeng Jawa. Dengan berbagai piranti puitik yang dikuasainya dengan sangat baik, ia telah memanfaatkan – baca: mengocok, memelintir, menggarisbawahi, menyalahartikan – dongeng wayang (dan juga berbagai dongeng lain yang dikembangkan masyarakatnya) telah menjadi sangat dominan sebagai alat pengucapan dalam puisinya.

Situasi yang melandasi proses kreatif penyair ini unik sebab ia berketetapan untuk menggunakan, misalnya, kisah-kisah yang ada dalam Mahabharata, yang beberapa bagiannya (lain maupun sama) juga dipergunakan oleh penyair Indonesia lain seperti Goenawan Mohamad dan Linus Suryadi AG. Keunikan itu terletak pada kenyataan bahwa mereka menggunakan wayang, tetapi tidak jelas apakah yang sudah diplintir oleh pujangga Jawa atau yang masih kedapatan dalam kitab Mahabhrata India yang di zaman kita ini sudah sangat banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Indonesia. Ingat bahwa Gareng tidak pernah ada dalam Mahabharata India dan kelamin Srikandi Jawa tidak sama dengan yang di negeri asalnya. Tokoh Pariksit dalam salah satu sajak Goenawan Mohamad tampaknya diciptakan dari Mahabharata India sedangkan sejumlah besar tokoh wayang dalam puisi Linus Suryadi AG dikembangkan dari wayang Jawa, yang sangat mungkin sudah menjadi bagian tradisi kelisanan sekunder dalam pertunjukan wayang purwa.

Kita bandingkan situasi ini dengan yang terjadi di Eropa berkenaan dengan dongeng, atau mitologi, Yunani yang konon menjadi landasan cara berpikir orang benua yang terbagi menjadi puluhan bahasa dan ratusan dialek itu. Penyair Inggris, misalnya, sampai hari ini masih menggunakan dongeng yang berasal dari negeri yang sangat jauh di sebelah timur yang, meskipun dikatakan masih tetap menjadi bagian hidup mereka, sudah sayup-sayup sampai suaranya di kalangan masyarakat luas. Pada zaman yang sama sejumlah penyair Yunani modern, misalnya Georgios Seferiades, mengacunya dengan aman sebab mitologi itu masih menjadi milik mereka. Dongeng-dongeng tentang Oedipus, misalnya, memang dikenal di Eropa Barat tetapi, seperti halnya wayang bagi orang Jawa, pada dasarnya adalah barang impor yang jelas sudah diplintir oleh pujangga setempat. Dongeng Mahabharata yang sampai hari ini masih juga menjadi bagian dari kesusastraan India modern juga ditulis kembali oleh penyair-penyair di Asia Tenggara Indonesia.

Ada yang berpendapat bahwa dalam situasi semacam itu Seferiades diuntungkan karena ia berbicara kepada masyarakatnya yang memang sudah menghayati nilai-nilai yang ada dalam dongeng tersebut, namun pada hemat saya keadaannya serupa saja jika masyarakat yang menerimanya menghayati (atau tidak menghayati lagi) dongeng itu. Yang diciptakan Goenawan Mohamad dalam salah satu sajaknya adalah Pariksit yang mungkin berdasarkan kitab India sedangkan yang diciptakan Gunawan Maryanto mungkin adalah Gandari yang sduah menjadi orang Jawa. Dalam kasus serupa, Gareng yang diciptakan Linus Suryadi dalam salah satu sajaknya benar-benar asli Jawa. Namun apa pula bedanya? Ketiga penyair itu telah berusaha untuk menciptakan sosok yang dikembangkan dari dongeng demi kelancaran pengucapan puisinya. Mereka merasa aman telah mengungkapkan penghayatannya terhadap kehidupan dan cara memandang kehidupan dengan dongeng yang mereka kuasai sebaik-baiknya.

Pemanfaatan dongeng serupa itu bisa dilaksanakan berdasarkan berbagai strategi, antara lain dengan menciptakan tokoh, menyusun alur, menggelar latar, atau memadukannya dalam keseluruhan sajak tanpa menyebut salah satu unsur tersebut. Ini adalah proses yang biasa terjadi jika sastrawan memasukkan ideologi ke dalam karyanya, dan dongeng adalah ideologi itu – atau kendaraannya, yang tidak bisa dipisahkan dari muatannya. Proses itu menghasilkan puisi yang bermuatan sesuatu yang dihayati penyairnya, namun mau tidak mau memiliki potensi besar untuk menimbulkan masalah bagi pembacanya. Dalam kesusastraan kita, masalah itu justru merupakan inti perkembangannya, daya yang senantiasa mendorongnya untuk menjadi kesusastraan yang benar-benar modern, yang bernama Indonesia. Puisi Gunawan Maryanto ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa yang dipahami oleh sebagian sangat besar penduduk negeri ini, namun dongeng yang mendasarinya tidak akan bisa dikenali oleh sebagian besar orang yang tinggal di kepulauan ini. Bahkan, lebih dari itu barangkali, sebagian orang yang berdarah dan berkebudayaan Jawa pun tidak lagi mengenalinya.

Dalam puisi Gunawan Maryanto, Gandari diambil untuk mengarisbawahi nilai-nilai yang sampai sekarang masih berlaku dalam kebudayaan Jawa pada umumnya, yakni bahwa Kurawa itu hitam dan gelap yang senantiasa menuding Pandu, tokoh yang mutlak melambangkan kebenaran dan keadilan. Penyebutan seratus anak Gandari dalam sajak ini mendesakkan kepada kita betapa besarnya kuantitas yang hitam dalam hidup kita ini: ini adalah salah satu strategi penyair untuk memanfaatkan dongeng. Dalam beberapa sajak lain penyair menempatkan dongeng dalam konteks yang lebih mudah dikenal, dalam situasi yang bisa saja berlangsung hari ini. Meskipun judul sajak “Surtikanti” atau “Banowati”, misalnya, akan bisa mengganggu pembaca yang tidak menjadi bagian dongeng wayang, larik-larik dan bait-bait yang disusun akan dengan mudah bisa diikuti pembaca sebagai suatu kisah yang ditata secara sangat baik dari segi diksi maupun peristiwa. Ini bisa dijelaskan sebagai strategi yang tidak sekadar penjejalan ideologi, seperti yang bisa saja dirasakan ketika membaca kisah Gandari, tetapi meleburkan gagasan dalam puisi seutuhnya, meskipun tentu saja masih tetap menuntut niat baik pembaca untuk mengusut perangai dan kisah Banowati dan Surtikanti dalam wayang.
Kita simak saja ringkasan kisah Banowati yang bisa dibaca dalam sebuah buku , begini dongengnya.

Dewi Banowati puteri Prabu Salya, raja Mandaraka. Banowati seorang puteri yang sangat cantik, bukan karena dari berhiaskan ratna mutu manikam dll., tetapi kecantikannya itu nampak pada waktu tidak berhias; inilah kecantikan yang sebenar-benarnya. Tingkah laku puteri ini serba pantas, sekalipun asam mukanya, manisnya makin bertambah.
Bermula Banowati jatuh cinta pada Arjuna, kemudian ia menjadi permaisuri Raja Suyudana, tetapi hatinya merasa berat bersuamikan raja itu. Percintaan Banowati pada Arjuna disambung sehabis perang Bharatayuda, sematinya Suyudana, Banowati diperisteri oleh Arjuna. Tetapi tingkah laku Banowati yang sedemikian itu menyebabkan kemurkaan Aswatama, seorang teman Korawa. Banowati dibunuh mati oleh Aswatama itu pada waktu ia sedang tidur nyenyak.
Inilah pembalas dendam Aswatama pada Banowati, lantaran Banowati selalu mempermainkan Prabu Suyudana, merendahkan keutamaan seorang raja.

Tentu sama sekali tidak ada, dan juga tidak diperlukan, jaminan bahwa penyair pernah membaca buku itu, namun jelas ia mengenal kisah itu dengan baik. Dalam kutipan ringkas itu termaktub kisah cinta dan balas dendam. Yang menjadi tokoh-tokohnya ternyata juga menjadi sumber sajak-sajak lain, yakni “Aswatama” dan “Surtikanti”, lewat seorang tokoh Arjuna, yang menduduki posisi penting dalam cara berpikir orang Jawa tentang cinta dan kejantanan. Kisah itu ditata kembali oleh penyair ini dalam sebuah sajak yang kompak berjudul “Banowati”, yang terdiri atas sekian belas bait, yang menunjukkan kemampuan mamanfaatkan bahasa Indonesia sebagai alat dan sekaligus habitat baru kisah Jawa itu. Awal sajak itu sebagai berikut:

bahkan tuhan pun lupa
kenapa aku mencintaimu

aku lupa:
ini cinta atau alpa
ini cinta atau apa

Dan bait pertama yang terdiri atas dua larik itu dijadikannya penutup sajak. Dan berikut ini saya kutip sajak “Surtikanti” seutuhnya, yang merupakan tafsir penyair atas sebuah kisah cinta dalam Mahabharata yang juga sudah sangat luas dikenal di kalangan masyarat Jawa yang mengenal wayang.

di malam pengantin
dua lelaki berkejaran
sepanjang tubuhku sepanjang malam
berlarian di kancing baju, cincin,
giwang, leontin,
dan jam tangan
tapi cuma satu yang berdiam dalam anganku:
lelaki dengan benih matahari di kedua matanya
dengan deras sungai gangga dalam jantungnya
yang menyimpan kesedihanku diam-diam

maka diamlah seluruh mandaraka
biarkan malam menyembunyikan cintaku
menggelapkan kekasihku
dari anjing jaga dan peronda

Landasan sajak ini adalah kisah Surtikanti, puteri raja Mandaraka, yang dicurigai diam-diam menerima ‘tamu’ gelap malam-malam yang wajahnya mirip Arjuna. Karena penasaran dan atas perintah sang Raja, Arjuna pun menyelidiki siapa orang asing itu, dan akhirnya ia berhasil menangkapnya: ternyata dia adalah Suryaputra (artinya: putera Sang Surya, “benih matahari di kedua matanya”) yang di kemudian hari dikenal bernama Karna. Perkelahian sengit pun terjadi antara kedua ksatria itu (yang kemudian direkam dalam sebuah tarian Jawa klasik yang bernama “Karna Tandhing”), dan untung sesaat sebelum Arjuna menghabisi si ‘tamu’, seorang Batara turun untuk melerai keduanya. Surtikanti pun akhirnya kawin dengan si ‘tamu malam’, orang yang dicintainya salama ini.

Gunawan Maryanto dengan cerdik berhasil memanggungkan kisah cinta itu dalam sebuah lirik ringkas, dengan tafsir yang menjadikannya semakin dramatik karena diksi dan latar yang diciptakannya. Kita masih merasa bahwa kisah itu terjadi di sebuah kerajaan zaman dahulu kala, tetapi sekaligus bisa menghayatinya sebagai suatu yang menjadi milik masa kini. Proses dan strategi inilah yang seharusnya dimaknai sebagai upaya melanjutkan tradisi, dan tidak melestarikan tradisi sebab lestari juga berarti mati. Nilai-nilai dan norma yang sudah sejak lama dibangun dan dikembangkan masyarakat dilanjutkan dengan cara menafsirkan kembali dongeng dalam konteks latar yang berbeda, yang mungkin saja sangat jauh dari apa yang dahulu dibayangkan oleh masyarakat yang menciptakannya. Sekali lagi perlu disinggung, hal itu tentu saja bisa menimbulkan masalah bagi pembaca non-Jawa maupun Jawa yang sudah tidak kenal lagi dongeng serupa itu.

Gunawan Maryanto adalah penyair yang telah menemukan cara menyusun lirik: “Surtikanti” adalah salah satu contoh saja. Sajak-sajak ringkasnya yang lain, yang tidak ada kaitannya dengan usaha untuk menafsirkan dongeng, tentu lebih siap menghadapi pembaca yang tidak mengenal dongeng yang oleh orang Jawa telah diplintir menjadi bagian integral dari kebudayaannya. Sajak yang dijadikan judul buku ini membuktikan hal itu. Namun, dalam rangkaian sajak ringkas ini dan sejumlah sajaknya yang lain Gunawan Maryanto tetap saja memanfaatkan berbagai anasir wayang – tanpa menyebut nama tokoh atau peristiwa – dalam larik-lariknya. Ia menyeret semua itu dan mengembangkannya dalam suatu situasi modern, dalam suatu kisah cinta masa kini yang menyediakan diri untuk kita tafsirkan sesuai dengan pengetahuan kita tentang si penyair dan penghayatan kita akan makna cinta yang menyusun sendiri petualangannya.***

(Disampaikan pada acara Bedah Buku "Perasaan-Perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya" 7 Juni 2009)

1 komentar:

  1. Masih adakah persedian buku ini? Kami sangat berharap dapat buku ini. Salam Puji Santosa.

    BalasHapus

Blogger Widgets