Sabtu, 14 Juli 2012

Kumis Penyaring Kopi, Sekumpulan Cerita pendek Pinto Anugrah

 

Judul: Kumis Penyaring Kopi

Penulis: Pinto Anugerah

Ukuran: 13 x 19 cm

Tebal: 132 halaman

Penerbit: Ning Publishing

Tahun Terbit: Juni 2012

 Harga: 45.000

 

MEMBACA “KUMIS PENYARING KOPI” DRAFT KUMPULAN CERPEN PINTO ANUGRAH

~ moh. fathoni

  Usai membaca cerpen-cerpen Pinto dalam kumpulan ini saya seperti kembali mempertanyakan: benarkah yang lampau telah menjadi jejak-benda, yang lenyap, dan menghilang? Lalu, kita kini duduk membaca sambil merenungi kenangan-nostalgia itu. Benarkah semua itu menjadi masa lalu?

Usaha Pinto menjejaki masa lalu dalam cerpen-cerpen ini karena budaya-tradisi, baginya, menjadi suatu peristiwa; Peristiwa yang selalu terjadi, berulang, dan kembali hadir pada masa kini; Ia rupanya tak benar-benar ditinggalkan atau dilupakan; ia bersembunyi dalam kedalaman memori kolektif; ia menjelma menjadi, menjadi diri yang memahami, sadar keberadaannya antara kehilangan dan kehadiran, antara pemaknaan dan kesia-siaan.
Barangkali menarik menyimak apa yang dikatakan Rene Char, seorang penulis dan penyair Prancis, bahwa kebudayaan adalah warisan yang diturunkan kepada kita, tanpa surat wasiat. Dan kini, kita sebagai ahli warisnya; sepertinya ini nasib kita yang menanggung beban itu. Bersediakah kita? Sudah barang tentu tak ada pilihan lagi. Kitalah yang mesti merawatnya, tak ada kata lain. Lantas, bagaimana semestinya merawat dan menunaikan wasiat itu? Pertanyaan ini yang jadi persoalan dalam cerpen-cerpennya Pinto. Suara nenek moyang, kata Afrizal, masih mengiang dalam cerita-cerita Pinto. Bagaimana Pinto dengan budaya-tradisinya membangun konstruksi realitas ceritanya?

Realitas merupakan peristiwa yang terjadi. Sedang, cerita membingkainya dalam suatu peristiwa, penggalan-penggalan yang dijalin dalam lintasan narasi. Dengan demikian ia melibatkan ruang dan waktu, dimainkan melalui subjek-subjek, dikemas dengan strategi alur dan struktur cerita. Cara ungkap Pinto bercerita berkaitan dengan representasi yang memang sarat tradisi-budaya lokal selayaknya diapresiasi. Kaitannya dengan realitas yang dibangunnya, Pierce menilai bahwa realitas dan bahasa memiliki hubungan, seperti yang saya pandang di dalam kumpulan cerpen ini, terutama titik temu antara tradisi-keseluruhan budaya yang dibawa pengarang ke dalam cerita dengan individu-invidu tokoh di dalam cerita. Pertemuan itu antara apa yang disebut tindak-gagasan cerita dan peristiwa-gagasan pengarang bercerita.

Bagi Heidegger, ruang dan waktu bukanlah panggung [arena] yang kita bisa naik atau turun, tetapi sebagai unsur konstitusinya, yang sudah dibentuk melalui pengorganisasian sebelumnya secara sosial di dalam masyarakat, semacam strukturasi Giddens. Baginya, ini merupakan proses konstitutif lelaku menghadapi perubahan, di mana ia berada, dan dipandang bukan proses natural, melainkan semacam skema yang muncul ketika berhubungan dengan yang lain. Di sinilah letak ‘wacana’ tradisi-budaya yang diemban oleh pengarang mewujud. Apakah ia hanya dijadikan entitas benda, atau dijadikan sebagai bentuk praktik yang bersinggungan antara individu dengan determinasi tradisi. Nah, bagaimana pengarang melihat hal ini?

Baiklah mari kita simak keduabelas cerpen Pinto. Idealnya memang pengarang tak sekadar mereproduksi atau mengeksplotasi kekayaan tradisi-budaya lokal semata. Dalam hal ini Pinto seperti sadar, eksotisme tak bisa sepenuhnya diabaikan, dan banyak dimunculkan dalam kumpulan cerpen ini. Seperti dalam Cerpen “Kotak Kayu”, untuk menyebut diantaranya, berikut tulisnya,

“Ia tinggal di sebuah kota kecil yang lengang, kota yang terletak di lembah antara dua gunung. Jika malam maka alangkah sangat dingin dan kabut turun menyelimuti, jika matahari mulai muncul dan naik maka kabut itu akan beranjak naik sedikit demi sedikit ditingkahi oleh anak-anak berseragam putih-merah yang berlari ke sekolah, dan jika petang mulai masuk ditandai dengan garis-garis ufuk maka kabut itu akan mulai turun kembali yang dipecah oleh layangan anak-anak yang menukik kian kemari.”
Pun dalam Cerpen “Kotak Lalu, Ibu” setting suasana dilukiskan sedemikian asrinya. “Gerimis yang tidak tertepis. Kabut mulai turun. Pegunungan yang memunggungi Kota Lalu mulai tertutupi.” Latar pegunungan, ladang, lembah, sungai, dan lainnya, beserta kesan sejuk dan alami tak luput dari rekaman pengarang. Dalam Cerpen “Kepundan Ayah” kesan itu semakin dekat, pembaca seperti merasakan “angin lembah mulai turun dari lereng pegunungan”, lalu di pagi buta, seperti yang dilakukan tokoh Ayah dalam cerita.
“...Ia mengendap di antara rerimbunan daun yang masih basah karena embun semalam. Sedang dari jauh, sesayup, suara orang mengaji sesudah salat di surau seberang sungai jatuh di telinganya.”
Namun, kesan suasana tak semata-mata soal keindahan dan kedamaian. Dalam Cerpen “Orang Rantai”, Pinto menggambarkan sebaliknya. Tak seperti yang senyatanya, kampung bisa saja berubah menjadi kota yang sangat sibuk. Pengarang seperti menolak apa yang disebut dimuka, tentang eksotisme lokal yang diembannya, dalam cerita.
“Ini, bukanlah kehidupan senja di kaki pegunungan yang sepi. Kota ini, kota yang membara oleh batubaranya. Kota yang terletak pada sebuah lembah, dikurung oleh perbukitan, hingga jika dilihat dari salah satu puncaknya persis seperti kuali. Kota kuali. Tapi jangan pernah membayangkan, karena letak topografisnya kota ini kota yang sejuk, yang tiap saat akan berhembus angin gunung atau angin lembah. Kota ini berdebu dengan suhu yang amat panas, apalagi jika siang hari. Sawahlunto, begitulah nama resmi kota ini. Dapat dikatakan bahwa kota ini kota yang sibuk. Pecahan batubara terserak di mana-mana. Lori-lori hilir-mudik mengangkut batubara dari lubang-lubang tambang yang tak jauh dari pusat kota.”
Meski demikian ia tetap mempertahankan suasana itu, demi mempertahankan representasi lokalitasnya; Meski kemudian muncul ambivalensi tentang apa yang dibayangkan: keindahan, kedamaian, kesejukan, ketenangan, menjadi kenangan masa lalu. Semua penggambaran itu berubah, seperti dalam cerpen ini. Kita seperti diajak berlari, menelusuri lereng-lereng, sawah-ladang, kebun, lalu tiba-tiba diajak berhenti, merenung dan mempertanyakan: untuk apa itu semua? Apakah itu nyata, sekarang, dan benarkah? Pengarang seperti bermain-main, mempermainkan pembaca dengan strategi cerita. Seperti setelah berjalan lama, Anda dihadapkan pada genangan. Pembaca ditarik menyelam kedalamnya: berkesan indah atau tidak, silahkan.
“Jika Anda datang ke kota ini, maka berdirilah di salah satu puncak bukitnya.Anda akan lihat sebuah menara yang menjulang tinggi hampir sejajar dengan puncak bukit itu. Sebenarnya bukanlah sebuah menara karena akan Anda lihat di puncaknya asap hitam pekat mengepul ke udara. Ya, itu sebuah cerobong asap dari Bunker Power Plan milik Belanda. Persis di bawah cerobong asap itu terdapat sebuah gudang tungku batubara yang besar, dipergunakan untuk membuat senjata dan mesiu, tetapi sering juga digunakan untuk membuat peralatan tambang.”
Seperti cerpen-cerpen yang lainnya, Pinto berhasil mengolah alur dan mengembalikan kesadaran pembaca, bahwa itu semua hanya angan-angan, mimpi, bayangan, kenangan, dan ilusi semata. Dengan strategi ini, Pinto seperti tak benar-benar menceritakan kenyataan. ini seperti sejalan dengan Aristoteles, imajinasi dikaitkan dengan representasi mental [phantasma]. Imajinasi , baginya, mampu menjembatani antara rasio dan sensasi. Maka, imaji dan gambaran mental yang dimilikinya didapatkan dari pengalaman melalui sensasi. Lalu dipahami oleh rasio melalui imajinasi.
Di sini, ketika membaca cerpen ini, imajinasi [imaginatio] ikut serta dalam proses mengetahui fakta. Jadi, imajinasi menjadi produk konstruksi, bukan sebagai fakultas, maka ia pun dapat menjadi sumber ilusi. Setidaknya disini, barangkali, imajinasi Pinto merupakan imajinasi dalam pandangan Agustinus, yang dibedakan diantaranya berasal dari hal-hal yang pernah dialami; atau yang tidak dialami seperti merujuk pada mitos dan sejarah.
Apabila tak sekedar [re]produktif, imaji-imaji yang dibangun disertai dengan refleksi. Sebagaimana Kant menilai bahwa imajinasi memprakondisikan pengalaman dunia. Ia menghadirkan [merepresentasi] deretan persepsi terhadap dunia [pengalaman] dan pandangan yang sudah ada, baik dialami atau tidak sebelumnya secara mental. Ia menghadirkan ulang sebagaimana sebelumnya, sebelum dituliskan sehingga tampak ‘seolah-olah’ atau sungguh-sungguh hadir. Antara fakta dan fiksi dikaburkan dalam alur. Ia melingkar seperti meta-narasi. Pengarang sengaja menjadi tukang cerita, berhati-hati menyampaikan cerita dan menjaga pembaca agar terus mengikuti jalannya cerita. Maka, pembaca perlu serius, jeli dan hati-hati mengikuti cerita. Meski kadang membingungkan dan membosankan tapi keingintahuan telah ditanamkan dalam kata-kata, menjadi teka-teki.
Bila tak sekadara reproduksi, maka sikap reflektif perlu dimunculkan, seperti ketika ada penjarakan [distansi] dan menyadari keberadaan [ruang-waktu], dalam alur tertentu misalnya pada suatu cerita. Dalam Cerpen “Anggang” misalnya, pembaca disadarkan bahwa tokoh ternyata mengalami mimpi, ilusi, atau sejenisnya, sedikit berbeda dengan “Kepundan Ayah”, tokoh dipermainkan narator, yang sekaligus pembaca dibawa ke dalam kenangan tokoh, dari balik jendela, dari secangkir kopi paginya. Imajinasi reflektif pun muncul dalam cerpen “Kota Lalu, Ibu”, tradisi tak sekedar mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang lampau tetapi dipandang lebih kritis, seperti yang dialami oleh Elfira, sebagaimana ditutur-ceritakan pengarang. Pengarang seperti mengingatkan, memberi peringatan kepada generasi muda sebagai pewaris hari esok untuk segera menyadari asal-usulnya, memahami budayanya, dan keberadaan dirinya yang tak bisa lepas dari tradisi lampau, sebelum terlambat. Sebelum semua itu menjadi puing-puing, tiang penyangga ‘rumah’ hangus terbakar. Cerita dibiarkan terus berlangsung. Ungkapan “kemana Ibu!” di akhir cerita seperti bukan pertanyaan, tapi penegasan tentang kehilangan dan pencarian berikutnya mesti dilanjutkan. Hal ini tampak pula dalam Cerpen “Anggang”.
Cara bercerita Pinto seperti allusion yang mengandung permainan. Ia di awal-awal memberikan semacam isyarat atau pertanda, seperti menyarankan kepada pembaca bahwa cerita-ceritanya hanya “seolah-olah” atau cerita-fiksi ini mendekati pada realitas tertentu. Cerita yang muncul ketika dalam momen atau peristiwa tertentu, semacam pengandaian yang berhubungan dengan konteks dan pemaknaan yang disarankan. Lantas, pembaca mengalami, mengikuti permainan yang menghanyutkan, mencekam, penolakan, perlawanan, ketegangan, penundaan, hingga penyadaran; bahwa cerita hampir berakhir. selanjutnya babakan pemaknaan jejak-jejak yang dimulai. Inilah kepiawaian bertutur-cerita Pinto.
Baiklah, selain daya ungkap pengarang tak berhenti pada labirin cerita, ada ekspresi kebudayaan yang tampak dalam keduabelas cerita ini. Bila warisan tradisi tidak semata-mata dipandang sebagai benda yang ditransmisikan secara turun-temurun, secara primordial, maka identitas yang dideritanya tak sekedar taken for granted. Citra arketipe dalam karya sastra dapat dilihat secara psikologis, historis, dan antropologis. Kandungan yang muncul dalam citraan atau representasi tidak lepas dari pandangan dunia yang melekat baik pada diri pengarang maupun cerita yang dibangunnya. Citra arketipe ini bisa dikatakan sebagai pemahaman apriori, meski demikian ia mampu menjelma dalam representasi mimpi dan fantasi, kreasi dan imajinasi, fakta dan fiksi, yang kemudian mengendap bersama ketaksadaran, yang berdaya produktif dan kreatif dalam imajinasi pengarang. Yang perlu dicatat di sini hanya mempermasalahkan karya sastra yang berhubungan dengan manusia dan kebudayaan.
Kemampuan teks fiksi yang menghadirkan sekaligus menihilkan ini perlu ditelusuri secara hati-hati. Seperti kata Derrida, teks tidak secara langsung menyuguhkan suatu pengetahuan, tetapi melalui imitasi atas imitasi yang tiada henti. Dengan demikian, kita dapat secara simultan menyisirnya dan bersamaan antara subjek dengan peradigma-paradigma yang melatarbelakanginya. Seperti dalam Cerpen “Kota Lalu, Ibu” tokoh Elfira bertindak antara sadar dan tak sadar. “Tiba-tiba Elfira merasa ia seperti tergerak, ia, bergerak dengan sendirinya. Tubuhnya, tubuh itu seperti tidak bisa dikendalikan. Dan, mulut itu, bagian dari tubuh itu, berucap, berucap dengan sendiri, “rumah, rumah, rumah!”. Seperti juga simbol-simbol referensial dalam Cerpen “Pandam” dan cerpen keduabelas Pinto dalam kumpulan ini, “Bakiak”. Tokoh-tokoh Gaek-Sawista [Kotak Kayu], Elfira-Ibu, Orang Tua [Kota Lalu, Ibu], Ayah-Anaknya [Kepundan Ayah], Anggang-Ayah [Anggang], Ibu-Anak [Lapik Buruk], mengisyaratkan pertentangan antara tradisi, kenangan, masa lampau dengan konsep waktu budaya modern. Selebihnya, karakter Anggang [Anggang], Mak Nui [Kopi Daun], tokoh-tokoh Loge, Kodin, Kinang dan anjingnya dalam Cerpen Pandam, percakapan Aku-seorang gadis di halte [Percakapan Hujan] pun begitu kuat mengandung asosiasi pemaknaan, masih perihal tradisi-budaya lokal.
Cara lain yang satire juga digunakan misalnya dalam Cerpen Tiga Patahan, bahkan terasa parodi. Di sini [Patahan 1: Alu Katentong] diceritakan seorang Ibu yang ditinggal merantau anak-anaknya, hingga tersisa seorang anak bungsu. “Kampung ini seperti mati. Apakah kau tetap memutuskan akan pergi juga?” tanya ibunya. Semua orang, sekarang, pergi merantau. Bukan lelaki saja, tapi perempuan juga telah pergi merantau. Lihatlah, kampung telah lengang. Hanya orang-orang tua dan anak-anak yang tinggal. Ladang telah semak, jadi sarang babi hutan. Sawah kering, tak lagi ada yang mengairi. Di akhir cerita, tiba-tiba tokoh aku terbangun. Ia mendapati ibunya tengah menumbuk air hujan yang menggenang dalam lesung. Ia berdendang mendayu-dayu.
Gaya seperti ini pun dipakai dalam Patahan 2; Semplong, tetapi tidak terasa parodi atau satire, bahkan seperti klise tentang suatu penyakit guna-guna [sampelong] yang akan hilang bila orang yang bersangkutan pergi merantau atau melewati laut. Tokoh Kinan dikisahkan, disampelong oleh Wan Tunjang, juragan petai dari Kampung Udik. Akibatnya Kinan menderita penyakit aneh; lewat tengah malam ia memekik, meraung-raung, mencakar-cakar tubuhnya, membenturkan kepala ke dinding, dan seterusnya, sebab itulah ia tidak pernah tidur malam. Lalu ia menjadi gunjingan orang-orang, oleh ibunya Kinan disuruh merantau ke Jawa. “Jika kau menyeberang laut, maka penyakit itu akan hilang dengan sendirinya.” Demikian kepercayaan orang-orang, dalam cerpen ini. Tidak terasa apa-apa, seperti sudah menjadi pengetahuan umum, barangkali ini tergantung pula tradisi pembacanya. Pun dalam Patahan 3: patah sunting, tak seperti cerpen-cerpen yang lain, meski sama-sama bertolak belakang dengan harapan kebanyakan pembaca dan mengejutkan, tetapi akhir cerita dengan meninggalkan perempuan itu, “aku’ yang turun di tengah perjalanan, tidak mengesankan apa-apa. Seperti Cerpen “Percakapan Hujan” yang datar-datar saja, meski cukup dinamis dan dialog mengalir, tak seperti cerpen-cerpen lainnya yang dijaga ketat struktur narasinya. Namun, secara keseluruhan pesan Cerpen Tiga Patahan ini cukup terasa: patah akibat tradisi merantau, patah sebab disempelong yang kemudian juga merantau, dan patah karena [tokoh perempuan] ditinggal pergi lelaki yang belum lama menikahinya.
Masih perkara tradisi-budaya lokal, Cerpen Bakiak dengan bentuk yang simbolik sekaligus eksplisit memberi pemaknaan yang jelas, bahwa masa lalu [bila boleh disebut sejarah] menjadi spirit menjalani hidup, mempertahankan keberadaan diri [eksistensi] dalam masyarakat. Barangkali cerpen ini memang dipilih sebagai penutup kumpulan cerpen, Pinto seperti mengingatkan kealpaan, tentang sejarah, tentang nilai yang memang dinilai relevan dengan kekinian.
Tampaknya waktu dalam cerpen-cerpen Pinto sangat diperhatikan, khususnya dalam Cerpen “Kota Lalu, Ibu”, dan waktu yang menjelma dalam rangkaian sejarah seperti dalam Cerpen “Orang Rantai” dan “Emma Haven”. Kedua cerpen ini berlatar historis seperti halnya Cerpen Bakiak yang merujuk pada peristiwa 1965. Cerpen “Orang Rantai” menceritakan pada kisaran tahun 1981 ketika pertambangan batu bara dibuka di Sawahlunto. Orang-orang berdatangan, mereka menjadi buruh tambang atau kuli pabrik batu bara. Mereka inilah orang rantai. Sedangkan Cerpen “Emma Haven” berlatar ketika penjajahan kompeni, Hindia-Belanda, pada kisaran tahun 1940, setelah Sekutu kalah dalam Perang Pasifik. Emma Haven merupakan nama sebuah pelahuban kapal masa itu, dari sinilah cerita bermula. Laya, Siti Kalaya, seorang perempuan pribumi menikah dan mempunyai seorang anak dengan lelaki keturunan Belanda, Mark van Schrik yang dipanggil dengan lidah Padang: Ipan Sarik. Karena ditinggal Ipan Sarik pulang ke Belanda, pihak Laya berani menghadapi Penghulu Suku. Dengan latar belakang ibu yang dulu pernah terusir dari kampung halamannya [Kampung Pitalah] karena tanah mereka dikuasai oleh pemerintah Hindia-Belanda. Kemudian, ketika Laya dilamar oleh lelaki keturunan Belanda, ibu Laya berpesan, “Sekarang tentu kau sudah bisa memutuskannya. Kau pasti sudah mengerti! Kita orang yang terbuang dari kampung kita sendiri dan ibu berharap kita tidak akan terbuang untuk kedua kalinya.”
Tanah, ladang, rumah, dan kampung halaman dalam cerpen-cerpen Pinto menjadi entitas yang sentral. Tradisi-budaya lokal tak sekadar benda mati, barang warisan semata, tetapi mempunyai nilai; kebanggaan, kehormatan, harga diri, identitas, dan jiwa-spirit yang melekat sejarah yang kuat. Tokoh-tokoh orang tua, baik ayah-ibu, kakek-nenek, merepresentasikan pewaris, leluhur yang menjadi transmisi budaya. Sedangkan ahli waris tampak dalam karakter-karakter muda.
Terlepas dari semua itu, saya menaruh hati pada percobaan Pinto dalam Cerpen Lapik Buruk. Cerita cukup sederhana, tentang seorang anak dan ibu yang ditinggal menikah lagi oleh lelakinya. Olahan sudut padang cerita khususnya, dalam kedua tokoh tersebut. Mula-mula dari sudut pandang Ia-yang di luar, yang menggigil kedinginan, beralih ke ia-yang di dalam, yang memandang punggung-nya yang di luar; Ia berharap, ia-yang di luar masuk ke dalam rumahnya. Lalu kembali ke ia-yang di luar, ia menyesal tidak membawa baju dingin. Kemudian balik lagi, meloncat, dari dalam memandang ke luar. Dan seterusnya, gerak bolak balik ruang dan waktu, dari dalam-keluar-dalam-keluar. “Mereka saling membelakang punggung”.
Ia-yang di luar ternyata seorang anak dan ia-yang di dalam adalah ibunya. Saat saling memunggungi itu keduanya bercakap-cakap, tidak, seperti bercakap-cakap; aku-pengarang sebagai narator yang bercerita, yang bercakap-cakap dengan dirinya sendiri.
Percakapan itu masih tentang rumah. Meski sulit dan jauh, rumah tetap menjadi tujuan kembali; pulang. Dalam angan-angan percakapan itu, dari punggung terbalik itu, narator berkisah tentang masa lalu. Kenangan yang menyakitkan. Seorang ibu yang ditinggal menikah lagi, ia tak dinafkahi lagi. Sedang anaknya, tak dijelaskan apa ia merantau atau diusir, hingga sampai pada cerita ketika hujan ia pulang dan ibunya di dalam rumah, menunggu kedatangannya. Cerita berputar melingkar dalam keraguan dan masa lalu menjadi pemberat untuk memasuki rumahnya, rumah ibunya. “Masuklah, Nak! Masuklah! Ibu sudah lama menunggumu.” Ibu seperti telah melupakan masa lalunya, suami atau bapak si anak yang disebutnya “lapik buruk’. Selain itu, strategi sudut pandang narator demikian pun digunakan dalam Cerpen “Orang Rantai”. Aku sebagai narator dalam ruang-waktu mimpinya digeser menjadi saya-narator.
Bagaimana Pinto dengan Damhuri dan Raudal?
Seperti halnya Pinto, Damhuri dalam beberapa cerpennya pun tak lepas dari eksplorasi tradisi rantau. Dalam cerpen “Anak-anak Peluru” misalnya, Damhuri berkisah melalui simbol-metafor anak yang merantau sebagai anak peluru yang ditembakkan dan tak pernah kembali. Diceritakan seorang ibu tiga anak [Rehan, Acin, dan Ruz] yang menunggu kembali dari rantau. Anak rantau diibaratkan seperti peluru, ditembakkan dan tak pernah kembali. “Lupa jalan pulang atau memang sudah tak berniat pulang?” Menunggu sama dengan membunuh waktu, kesia-siaan, seperti “mengharap abu dari tungku-tungku pembakaran yang tak pernah menyala!”
Damhuri tampak, dalam hal ini, seperti menyatakan kehilangan tradisi, identitas asalnya. Ia pesimis. Adat dibiarkan lelah, tua lalu kematian tiba, tanpa ada yang merawat. Meski di sisi lain, Damhuri memandang adat seperti tertutup, terlalu primordial, dan tidak mau tahu dengan zaman. Di digambarkan sebagai perempuan tua sangat kasar, tidak penyabar, dan sulit diberi pengertian. Mencak-mencak, marah-marah, memaki dan mencela tanpa sebab musabab yang jelas.
Sepertinya Damhuri kecewa dengan tradisinya. Ia kecewa dengan adat yang dikenalnya dulu: yang santun, bijak dan amat penyayang. Meski kecewa ia tidak benar-benar meninggalkannya, ia masih mempunyai harapan dengan tradisinya, meski ia tidak punya alasan, seperti “entah kenapa masih saja ibu bersetia menyia-nyiakan waktu menunggumu.”
Sedangkan dalam Cerpen “Banun”, Damhuri mengemas melalui gagasan yang reflektif dan cukup kritis. Kehidupan Banun direpresentasikan dalam gagasan lelaku orang tani yang semestinya. Meski gunjingan dan ejekan dikenakan kepadanya, banun tetap dalam jalan hidupnya. Ia punya keyakinan, punya harapan, dan cara ideal menjalani hidup. Ia tak mengikuti perubahan dan terbawa oleh orang kebanyakan. Ia punya pandangan dan prinsip sendiri: tradisi dan kearifan hidup.
”Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan, kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang tani.. Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham bagaimana tabiat petani sejati.”
Namun, ironi dan terkesan fanatik ketika Banun mengajarkan prinsip hidupnya kepada anak-anaknya. Ia tidak percaya dengan ‘yang lain’, seperti lembaga pendidikan dan pengetahuan orang lain. Tetapi mengapa anak-anaknya tidak disekolahkan? Tetapi mengapa Banun menerima anak-anaknya bersuamikan guru?
Kemudian dalam Cerpen “Menantu Baru” mengungkapkan harapan orang tua agar anak-anaknya yang merantau ada yang kembali ke kampung halaman, menemani dan merawatnya di masa tua. Tema yang umum berlaku dalam masyarakat yang hidup di kampung, sekaligus problem sosial sebagai dampak dari kesenjangan kota-desa.
Penggambaran adat Damhuri sarat pada perenungan cerita dan dialog. Sedikit, atau bahkan jarang sekali ia mengungkapkan keindahan suasana alam secara detail, setting hanya digunakan sebagai perujuk cerita. Terkecuali pada kondisi tertentu, misalnya dalam Cerpen Tuba. “Lihatlah jalan umum kampung kita! Persis seperti kubangan kerbau. Rusak parah dan sudah tak layak tempuh...” tulisnya, yang justru sebaliknya, tidak menggambarkan keindahan kampung, kampung udi yang terbelakang; atau “Di sana dibangun masjid agung dengan biaya ratusan juta. Tak ada jalan umum yang tidak diaspal beton, jaringan telepon dipasang, jalur transportasi dari dan ke Taeh lancar.”
Dalam Cerpen ini pun deskripsi mengenai kampung tetap lekat, tetapi lebih pada kondisi kehidupan sosialnya. Seperti Pinto, cara pengungkapan dalam Cerpen “Orang Rantai” ketika menggambarkan kota pertambangan. Simak misalnya,
“Nagari Sungai Emas tetap saja udik dan makin terbelakang. Jalur transportasi dari dan ke Sungai Emas sulit. Jalan-jalan kampung dibiarkan saja rusak parah, tak layak tempuh. Guru-guru tetap saja menjadi tenaga honorer, entah sampai kapan. Anak-anak muda menganggur, tak jelas juntrungan. Judi sabung ayam menjadi permainan undi nasib yang amat menggiurkan. Ironis! Namanya Sungai Emas, seolah-olah ada sungai yang berlimpah-ruah kandungan emasnya. Seolah-olah negeri yang kaya sumber daya alam, padahal setiap hari orang-orang berkeluh kesah karena hidup susah. Banyak anak-anak cerdas terlahir di sana, tapi tak mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tak ada biaya. Maka, jalan satu-satunya adalah; pergi merantau, mengadu peruntungan ke Jakarta. Ada yang menjadi pedagang kaki lima, tukang jahit, petugas parkir, satpam, kuli bangunan, sebagian ada pula yang mencopet (jika itu dapat disebut pekerjaan).”
...
“Sebenarnya, orang-orang nagari Sungai Emas tidak perlu menunggu penjelasan polisi menyangkut sebab-sebab kematian almarhum bupati. Percuma saja aparat hukum mampu mengusut dan menuntaskan kasus itu. Tak bakal berhasil. Sebab, tabi’at pembunuhan keji itu tidak kasat mata. Lagi pula, di nagari Sungai Emas, musibah kematian macam itu sudah lumrah dan kerap terjadi. Meski diam-diam, hampir semua warga sepakat berkesimpulan bahwa bupati mati karena di-tuba. Dibunuh secara halus melalui kekuatan gaib. Namun, tidak mungkin disebutkan siapa pelakunya. Bila ada yang berani menyebutkan nama pembunuh bupati, itu sama saja artinya dengan bunuh diri. Kenekatan macam itu, hanya akan mengundang musibah baru, kematian selanjutnya, bisa saja jauh lebih mengerikan.”
Selain itu, Damhuri juga tetap setia dengan kearifan tradisinya, seperti ungkapan “Hujan uang di negeri orang, hujan batu di kampung kita, sebaiknya anak gadis tak usah ke mana-mana, tetap sajalah di Sikabalapa!” dalam Cerpen Asung Pitanah. Judul cerpen ini sendiri sudah menggambarkan kebiasaan dan ungkapan sosial masyarakat, sebagaimana Banun, yang juga menjadi judul cerpen Damhuri. Banun dalam kebiasaan Minang sering dilekatkan pada perempuan, upiak banun, yang nakal, cerdik, mada, engak, atau tangka.
Dalam ekspresi penceritaan beberapa cerpen Damhuri cukup metaforik, seperti ungkapan “anak-anak peluru”, “banun” , dan lainnya mirip dengan “bakiak”, “alu katentong”, “sempelong”, “patah sunting”, “pandam”, “lapik buruk”, dan sejenisnya yang digunakan oleh Pinto. Dengan demikian, dari struktur cerita Pinto cukup ketat dan berhati-hati dalam meramu bangunan cerita, meski di sini Pinto sedikit kurang eksplorasi dalam perenungan yang reflektif.
Lantas, bagaimana dengan Raudal? Tidak jauh berbeda dengan Pinto dan Damhuri Muhammad, Raudal pun menggunakan ekspresi dan eksplorasi tradisi-budaya lokal merantau. Sepertinya memang tradisi dan latar belakang pengarang tidak bisa dilepaskan begitu saja ketika membaca cerita-cerita yang cenderung mengemban tradisi-budaya lokal tertentu.
Dalam Cerpen “Rumah-rumah Menghadap Jalan” Raudal bercerita tentang ‘aku’ yang tinggal bersama kakek dan neneknya. ‘Aku’ menjadi penghibur, menjadi telinga yang rela mendengarkan cerita-cerita tentang orang-orang merantau, keluh-kesah sang kakek tentang mereka atau nasib dirinya, kesepian. Setelah nenek meninggal, ‘aku’ penasaran dengan cerita kakek. Aku merantau, meninggalkannya sendirian.
Namun, di rantau, ‘aku’ justru semakin memikirkan apa yang dikatakan kakeknya, tentang rumah-rumah menghadap jalan. “Mungkin aku terperangkap begitu jauh dalam labirin ungkapan yang mengharu-biru itu. Atau, mungkin karena aku berada di pusaran waktu yang perlahan membuktikan kebenaran ungkapannya dulu.” Aku merasa asing di perantauan. Kenangan kanak-kanak mendekat, membayang, romantika kampung halaman. Tak sekadar nostalgia, dengan rumah-rumah menghadap jalan Raudal bertanya, tak sekadar bertanya. Ia kecewa, mengapa jalan air diabaikan, tak digarap. Baginya itu merupakan jalan lain, jalan yang tak hanya membuka pintu kepergian, tapi juga untuk kembali. Di sini, Raudal seperti Damhuri yang cenderung menaruh perhatian pada persoalan-persoalan sosial dalam cerpennya. Sedikit berbeda, jika dalam Cerpen “Banun” cenderung satire dengan kehidupan orang tani tidak menawarkan semacam inovasi gagasan, Raudal dalam Cerpen “Rumah-Rumah Menghadap Jalan” seperti menyuguhkan tawaran tentang transportasi laut yang diabaikan. Meskipun keduanya sama-sama mempertanyakan wacana dan kekuasaan yang mengabaikan lokalitas, problem-problem yang muncul dalam masyarakat.
Thus, yang membedakan Raudal dan Damhuri dengan Pinto adalah struktur narasi dan konfliknya. Pinto seperti tak puas dengan cara bercerita, ia lebih berhati-hati dan meramu cerita dan alur seperti pararel, seperti pertanda atau isyarat. Gagasan tentang waktu-tradisi dan lokalitas hampir sulit dibedakan, pun dalam tradisi-budaya lokal yang selalu diselipkan atau dibangun utuh pada cerpen-cerpennya.
Barangkali tidak berlebihan atau cenderung menghakimi beberapa cerpen yang disebut di atas, sebab tulisan ini tidak bermaksud menggeneralisir atas keseluruhan pengarang-pengarang tersebut. Upaya pemaknaan dan pemahaman tak lepas dari horison harapan pembaca, wacana dan paradigma yang digunakan dalam teks dan konteksnya. Mari kita bincangkan.. Tabik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger Widgets