Dibuka Preorder
Suara Limbubu
Kumpulan puisi Arif Purnama Putra
Silahkan hubungi kami atau langsung ke penulisnya
Suara Limbubu
bila subuh datang, suara periuk dan abu beterbangan
di luar, suara orkestra melayu dari radio bapak berdengung
sesekali bunyinya berisik
lalu desau angin mengantarkan dingin
dari limbubu sampai abu terasa sama, tidak dapat akal lagi untuk membedakannya
terus—suara radio bapak berisik saja
tidak dapat diam kurun waktu yang lumayan lama
di luar, suara orkestra melayu dari radio bapak hilang
aroma kemenyan menyelinap masuk diam-diam
kata ibu “pajanglah marawa, pajanglah marawa kaum sirah”
Pesisir Selatan, 2018
......
Arif Purnama Putra lahir di Koto Baru Surantih sebuah kampung kecil di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Sekarang masih sibuk pada penelitiannya soal sastra lisan dalam pandangan kaum awam. Saat ini tergabung bersama Komunitas Daun Ranting dan menjalankan rumah baca Kurai Tanjung. Suara Limbubu merupakan buku tunggalnya yang pertama.
>>>>>
Membaca Suara Limbubu membaca dunia penyair yang dekat dengan alam pesisir: laut, badai, kapal, sungai, dengan mitos-mitos dan persoalan yang menyertainya. Sebagai generasi penyair berdarah Minang terkini, Arif, dalam puisi-puisinya, juga masih menawarkan diksi-diksi khas setempat dan kecendrungan memandang rantau (kota?) sebagai sesuatu yang asing, berjarak, penuh rasa curiga.
(Yetti A. KA, – Penulis)
Suara Limbubu mengajak kita untuk membaca sekumpulan puisi dengan gaya bahasa dan gagasan
lokalitas yang kental, romantisme khas anak muda; bagaimana sang penyair menghimpun kenangan-kenanngan yang berpencar diingatan pada keluarga, orang-orang yang punya arti dihidupnya, juga catatan-catatan perjalanan ke tempat-tempat yang pernah disinggahi.
(Aris Kurniawan Basuki – Cerpenis)
Arif Purnama Putra adalah pencatat peristiwa yang jeli. Peristiwa sosial dan seluruh dinamikanya tersusun rapat dalam bait sajaknya. Puisi Arif sekaligus penanda waktu. Yang lampau, yang kini dan akan datang muncul dalam puisi arif terkesan prosaik, tampak polos tapi sangat gelisah. Tak lupa ia mengejek, menertawakan, juga merindukan. Bagi saya Arif adalah penyair yang gelisah, menyimpan segala peristiwa dalam catatannya dengan gamang yang tidak dibuat-buat.
(Indrian Koto - Penulis)
bila subuh datang, suara periuk dan abu beterbangan
di luar, suara orkestra melayu dari radio bapak berdengung
sesekali bunyinya berisik
lalu desau angin mengantarkan dingin
dari limbubu sampai abu terasa sama, tidak dapat akal lagi untuk membedakannya
terus—suara radio bapak berisik saja
tidak dapat diam kurun waktu yang lumayan lama
di luar, suara orkestra melayu dari radio bapak hilang
aroma kemenyan menyelinap masuk diam-diam
kata ibu “pajanglah marawa, pajanglah marawa kaum sirah”
Pesisir Selatan, 2018
......
Arif Purnama Putra lahir di Koto Baru Surantih sebuah kampung kecil di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Sekarang masih sibuk pada penelitiannya soal sastra lisan dalam pandangan kaum awam. Saat ini tergabung bersama Komunitas Daun Ranting dan menjalankan rumah baca Kurai Tanjung. Suara Limbubu merupakan buku tunggalnya yang pertama.
>>>>>
Membaca Suara Limbubu membaca dunia penyair yang dekat dengan alam pesisir: laut, badai, kapal, sungai, dengan mitos-mitos dan persoalan yang menyertainya. Sebagai generasi penyair berdarah Minang terkini, Arif, dalam puisi-puisinya, juga masih menawarkan diksi-diksi khas setempat dan kecendrungan memandang rantau (kota?) sebagai sesuatu yang asing, berjarak, penuh rasa curiga.
(Yetti A. KA, – Penulis)
Suara Limbubu mengajak kita untuk membaca sekumpulan puisi dengan gaya bahasa dan gagasan
lokalitas yang kental, romantisme khas anak muda; bagaimana sang penyair menghimpun kenangan-kenanngan yang berpencar diingatan pada keluarga, orang-orang yang punya arti dihidupnya, juga catatan-catatan perjalanan ke tempat-tempat yang pernah disinggahi.
(Aris Kurniawan Basuki – Cerpenis)
Arif Purnama Putra adalah pencatat peristiwa yang jeli. Peristiwa sosial dan seluruh dinamikanya tersusun rapat dalam bait sajaknya. Puisi Arif sekaligus penanda waktu. Yang lampau, yang kini dan akan datang muncul dalam puisi arif terkesan prosaik, tampak polos tapi sangat gelisah. Tak lupa ia mengejek, menertawakan, juga merindukan. Bagi saya Arif adalah penyair yang gelisah, menyimpan segala peristiwa dalam catatannya dengan gamang yang tidak dibuat-buat.
(Indrian Koto - Penulis)
teruslah berkarya,semoga masyarakat minang di perantauan bisa memahami apa-apa isi dari buku suara limbubu budaya minang jaan di lupokan sanak kasadonyo
BalasHapus