Jumat, 03 November 2017

Resensi Buku Dari Dee ke Leo Kristi karya Kris Budiman


Judul      : Dari Dee ke Leo Kristi
Penulis    : Kris Budiman
Penerbit  : Jual Buku Sastra
Tahun     : Agustus, 2017
Cetakan  : Pertama
Tebal       : xii+135 halaman
ISBN      : 978-602-61256-2-0
Peresensi: Karim Ilham
“Dunia ini tak lain adalah tanda-tanda,” begitulah kira-kira tafsir salah satu ayat al-Qur’an. Tanda dalam kehidupan manusia bisa berbentuk macam-macam, salah satunya teks. Kris Budiman, seorang dosen Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, dalam buku Dari Dee ke Leo Kristi, menyajikan analisis pelbagai teks dalam karya sastra dan musik dengan perspektif semiotika. Tak sampai di situ, Kris juga menceritakan kesan yang intim terkait pergumulannya dengan dunia tersebut.


Kisah persahabatan yang dijalani antara Kris Budiman dan Dewi Lestari hadir mengawali esai yang terhimpun dalam buku Dari Dee ke Leo Kristi ini. Esai “Filosofi Kopi Sang Juru Dongeng” mendeskripsikan tentang cerpen-cerpen cinta Dee yang menurut Kris mengalami pergeseran struktural. Kreativitas Dee dalam menulis dibabak secara singkat oleh Kris. Sampai akhirnya, dalam sebuah pesan singkat Kris mengungkapkan pada Dee, “You’re my fave, extraordinary storyteller.” (hlm. 1)

Kalau terhadap Dee mengalami hingga kedekatan personal, maka terhadap Leo Kristi, Kris mengalami kedekatan sebatas dengan karya-karyanya. Kepada Leo Kristy, Kris hendak mengungkapkan kekagumannya pula. Sejak dari paragraf pertama dalam “Hitam Putih Leo Kristi”, pembaca sudah disodori bait Rendra “Engkau masuk ke dalam hidupku di saat yang rawan.” Pasalnya, kehadiran Leo Kristi dalam hidup Kris menjadi pembentuk selera estetik personal yang menentukan. Kris menceritakan masa kecilnya yang penuh perjuangan untuk mendapatkan keping demi keping kaset Leo Kristi. Bagi Kris, “Leo Kristi bukanlah sekadar musisi legendaris, melainkan juga seorang seniman yang karya-karya musiknya telah secara signifikan ikut memberi ritme bagi daur-hidupnya.” (hlm. 86)

Kisah Ironis dalam Kehidupan
Esai “Umar Kayam, Lebaran, Makanan” terjilid menjadi tiga bagian sekaligus menjadi esai kedua hingga keempat. Kris mengawalinya dengan menyampaikan ulang tulisan-tulisan Umar Kayam. Esai ini mendeskripsikan tokoh-tokoh dalam cerita-cerita pendek karya Umar Kayam sebagai manusia-manusia ironis. Salah satunya bercerita tentang seorang ayah yang anak-anaknya telah hidup mandiri. Lantas, karena kesibukan, tak satu pun dari mereka mengunjungi ayahnya untuk silaturahmi di hari Lebaran. Lebaran yang seharusnya merupakan hari kemenangan, justru menjadi hari kekalahan. Esai berikutnya perihal Umar Kayam yang memiliki ritual makan sebagai ciriwancinya. Tulisan yang dipublikasi pada 2002 ini, menurut Kris adalah ironi tentang bulan puasa yang justru dimanfaatkan sebagai berlangsungnya pesta konsumsi. Esai bertajuk Lebaran berikutnya menjelaskan bagaimana Kris menganalisis filosofi Jawa “Mangan Ora Mangan Kumpul” yang digunakan Umar Kayam dalam menamai kolom-kolomnya. Melalui esai ini, Kris agaknya menjadi penyambung lidah Umar Kayam bahwa kumpul itu sangat penting, namun jangan sampai terjadi kesialan ora mangan sekaligus ora kumpul.

Beda dengan Umar Kayam, melalui musiknya, Leo Kristi menyampaikan tema yang lebih luas, yakni kebangsaan. Dalam esai “Narasi Ironis Bangsa”, Kris menjelaskan gagasan kebangsaan Leo Kristi yang menghendaki kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dalam lagu-lagunya, Leo Kristi mengabarkan ironi-ironi yang terjadi di sekitarnya. Misalnya, para petani yang merayakan panen, tetapi hasil panen tersebut sesungguhnya bukan milik mereka. Tak hanya ironi masyarakat bawah, ironi para pemimpin politik tak lepas pula dari sorotan Leo. Alih-alih menunaikan kewajiban sesuai amanat rakyat, mereka justru saling menodong, menikung, dan menjatuhkan satu sama lain.

Tak hanya membicarakan tema serius seperti di atas, Kris juga menyodorkan esai kocak. Kita baca saja “Meriam”. Esai ini menghadirkan Remy Sylado dan seorang anak kecil. Tahukah Anda mengapa kita pernah mengenal sebuah senjata bernama meriam? Remy Sylado menjawab pertanyaan tersebut. Ia bercerita tentang senjata orang Portugis itu yang sebenarnya bernama kanon. “Ketika Portugis menembakkan kanon, mereka membuat tanda silang salib di mukanya, sambil mengucapkan nama Maria. Karena orang Melayu tak mengerti kanon, maka mereka menamainya mariam.”

Membaca 33 esai dalam buku bertajuk Episode yang Hilang ini agaknya membantu menjelaskan pembaca perihal penggunaan semiotika. Halaman yang sedikit tidak menentukan pembaca segera menuntaskan dalam sekali baca. Istilah-istilah akademis yang sering dipakai, walau menurut keterangan tak serigid buku-buku Kris sebelumnya, barangkali mengakibatkan pembacaan Anda sering terhenti untuk mencari pengertiannya. Namun, secara keseluruhan buku ini memperkaya wawasan pembaca dan mengajak sekaligus mengasah keterampilan memaknai pelbagai teks dalam sebuah karya.


Untuk pemesanan buku ini, silahkan sms ke 081802717528. Untuk pemesanan buku-buku yang lain silahkan lihat di http://jualbukusastra.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger Widgets