Senin, 14 November 2016

PO Nizal Qabbani: Yarusalem, Setiap Aku Mencintaimu


 Yerusalem, Setiap Aku Menciummu
(Sajak-sajak Cinta & Politik Nizar Qabbani)
Penerjemah: Irfan Zakki Ibrahim
Penerbit: Akar Indonesia
Cetakan: pertama, Nopember 2016
ISBN: 978-602-71421-8-3
Halaman: xxii + 96
Ukuran: 13,5 x 20 cm
Harga: Rp 39.000 (belum termasuk ongkos kirim)

Harga PO 35.000
Berlaku sampai senin 21 november 2016

Pemesanan (PO), silakan inbok:
Jual Buku Sastra
Email: jualanbukusastra@gmail.com
SMS/WA 081802717528
BBM 5A09B80A
Format: nama, kota tinggal, judul buku


______________________
Nizar Qabbani lahir pada tanggal 23 Maret 1923 di Damaskus, Suriah, negara yang kini poranda karena perang saudara. Perjalanan hidupnya ditandai dengan petualangan dan kepedihan, serangkaian kejadian tragis dan memilukan. Ia hidup kesepian di pengasingan, anggota keluarganya meninggal dengan sebab yang memberatkan perasaan: saudara perempuannya bunuh diri karena kawin paksa dan anak lelakinya meninggal ketika kuliah kedokteran di Mesir. Istrinya, Balqis al-Rawi, seorang wanita Irak, terbunuh ketika Perang Sipil tahun 1981 berkecamuk di Libanon.
Kesan mendalam atas tragedi-tragedi ini menuntun Qabbani menulis soal-soal perempuan, cinta dan pemberontakan. Puisi cinta Qabbani adalah puisi yang sederhana, langsung, jelas, kadang sedikit erotis namun tetap menyimpan kedalaman emosi. Bahasa keseharian diolah demi menghasilkan efek tertentu. Hal ini membuat puisi-puisi Qabbani kerap dipakai sebagai lirik para penyanyi Arab mulai dari Umm Kultsum, Farid al-Atrash hingga Magda Roumi dan Kazeem el-Sahir. Khusus untuk mengenang istrinya, ia menulis Balqis, puisi paling emosional dan rumit yang pernah ditulisnya.
Sajak “politik” Nizar Qabbani memuat kritik yang keras, tak terkecuali terhadap para pemimpin Arab sendiri. Namun dalam kritik yang keras itu, yang jernih dan artikulatif, masih tersedia ruang estetik khas puisi Arab, katakanlah dengan menggunakan bentuk bahasa dan pengucapan klasik (fuskha). Dalam situasi demikian, sehingga bukan hanya dalam puisi-puisi “cinta” keindahan bahasanya dapat dirasakan, dalam puisi “politik” pun keindahan itu memercik. Sebaliknya, bukan hanya dalam sajak-sajak “politik” muatannya terasa begitu kental, juga dalam puisi-puisi “cinta” muatan ideologis sangat kentara.
…………….
aku tak pernah mengerti…..
bahwa air mata adalah manusia
dan bahwa manusia tanpa air mata
hanyalah bayangan….
……………..
(“Kasidah Kesedihan”)
…………….
Rumah-rumah Damaskus
Berada di balik teks arsitektural
desain rumah-rumah kita
Didirikan di atas fondasi yang emosional
Karena setiap rumah bersandar
Pada sisi rumah yang lain
Dan setiap balkon
Merentangkan tangannya
pada segala sesuatu yang ada di hadapannya
Rumah ala Damaskus adalah rumah penuh cinta
Di pagi hari
mereka saling mengucapkan salam
dan dengan diam-diam
mempertukarkan tamu-tamunya
di malam hari
………………..
(“Damaskus, Apa yang Kau Lakukan untukku”)
Nizar menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Suriah pada tahun 1944. Setahun kemudian, ia diangkat sebagai diplomat Suriah di Mesir hingga tahun 1948. Dari Mesir, karier diplomatiknya meluncur ke Turki dan berakhir sebagai Konsul Suriah di London, Inggris, 1952. Tahun 1966, ia memutuskan berhenti dari Dinas Luar Negeri Suriah, kemudian tinggal di Beirut. Di Beirut, puisi-puisi Nizar menjadi lebih politis, terutama karena ia tergugah menyaksikan kekalahan bangsa Arab dalam Perang Arab-Israel 1967.
Nizar Qabbani meninggal di London pada 30 April 1998.
Ketika mengetahui ia meninggal, para pemimpin Arab yang dulu memusuhinya sibuk menawarkan bantuan pada keluarga Nizar Qabbani. Di antara mereka ada yang meminta agar Nizar disemayamkan di negerinya, ada yang menawarkan bantuan dana untuk biaya rumah sakit, pesawat, dan berbagai bantuan lain. Di negara asal Nizar, Suriah, Presiden Hafiz al-Asad memutuskan untuk menamai salah satu ruas jalan di Damaskus demi menghormati prestasi dan karya besar Nizar Qabbani (Moubayyed, 2006).
Sesuai wasiatnya, Nizar Qabbani dikebumikan di Damaskus. Upacara pemakamannya dilangsungkan seperti layaknya penghormatan pada seorang pahlawan. Ribuan orang meratap, ribuan orang berjejalan di jalanan Damaskus, lagu-lagu nasional didendangkan, ritual tradisional Damaskus dilangsungkan, dan lagu-lagu pujian dilantunkan untuk mengenang kehidupan Nizar Qabbani. Dalam sejarah Damaskus, pemakaman Nizar Qabbani ini adalah pemakaman pertama yang dihadiri oleh seluruh laki-laki dan perempuan Damaskus. Atas karya-karyanya, para kritikus Arab pun menjulukinya sebagai “Raja Penyair Arab” berbeda dengan Ahmad Shauqi yang dijuluki sebagai “Pangeran Para Penyair.”
***
Kami (atau kita) beruntung mendapatkan karya terjemahan Nizar Qabbani dari seorang peminat dan penekun sastra Arab, Irfan Zakki Ibrahim. Ia menerjemahkan langsung dari bahasa Arab yang ia pilih dari sumber-sumber yang ia sebutkan di dalam catatannya (baca: “Catatan dan Agitasi dalam Puisi Nizar Qabbani”). Beberapa di antaranya pernah dimuat dalam rumahlebah ruangpuisi edisi 03 dan mendapat apresiasi yang baik dari pembaca.
Lantaran hubungan yang erat antara sajak “politik” dan “cinta”, serta pergulatan keduanya yang tak pernah sudah, maka kami sepakati judul terjemahan ini YERUSALEM, SETIAP AKU MENCIUMMU.Yerusalem yang suci dalam debu konflik, menjadi simbol bahwa aroma peluru dan mesiu, sama tajamnya dengan aroma cinta dan rindu!
Sementara itu, dalam situasi termasuk kurangnya minat menerjemahkan puisi Arab, kami justru teringat salah satu buku yang cukup representatif, terjemahan Hartojo Andangdjaja yakni, Puisi Arab Modern (Pustaka Jaya 1983). Di dalam buku ini, dihimpun karya para penyair dari berbagai negara di Timur Tengah, lengkap dengan “Sepintas Catatan” tapi mendalam.
Hartojo boleh dikatakan sebagai sosok yang berupaya menghela khazanah perpuisian Arab modern ke kancah sastra nasional kita. Selain Hartojo, penerjemah Ali Audah tak dapat diluputkan, sekalipun ia lebih banyak menerjemahkan karya Arab dalam genre yang berbeda. Untuk kedua sosok tersebut, terjemahan karya Nizar Qabbani ini kami dedikasikan.
Dan akhirnya, kepada pembaca sekalian buku ini kami persembahkan.
(Akar Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger Widgets