Menutup akhir tahun 2013, terselenggara
juga agenda Akhir Tahun di JBS yang bertajuk “Dari Penciptaan Hingga
Penerbitan”. Acara digelar di Kedai JBS, Wijilan, Yogyakarta, pada Selasa, 31
Desember 2013. Sedianya, acara tersebut berlangsung pada pukul 15.00-19.30 WIB.
Agenda pertama ialah diskusi mengenai kepenulisan dan penerbitan yang
menghadirkan Irwan Bajang, Dea Anugrah, dan Bernard Batubara sebagai pembicara.
Setelahnya, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi dan performance art oleh beberapa penyair dan pengunjung.
Hujan yang lebat membuat acara mundur
hampir satu setengah jam dari jadwal. Biarpun demikian, antusiasme para
pengunjung dan pengisi acara tetap besar. Sambil menunggu pembicara yang belum
datang, pukul 16.20, Abdur Qodir Al Amin membuka rangkaian acara dengan
pembacaan cerpen bertajuk “Careta Penandak” yang diambil dari Kumpulan Cerpen
“Mata Blater” karya Mahwi Air Tawar. Dengan kostum khas Madura yang dikenakannya
dan gayanya bercerita, ia mampu membuat pengunjung fokus dan menikmati
pembacaan tersebut hingga usai.
Menyeimbangkan
Kritik dan Pasar
Selepas pembacaan tersebut, diskusi yang
dimoderatori oleh Dwi Rahariyoso dimulai. Bernard Batubara menjadi pembicara
pertama yang menyampaikan materinya. Bara langsung menembak pada sisi industri
penerbitan, seperti bagaimana memasarkan tulisan, penting tidak pentingnya
jumlah followers di Twitter, mengupas
genre bacaan yang laku, juga memberi motivasi untuk memberanikan diri menulis
buku atau menerbitkan karya dengan cara apapun. Ia mencontohkan pengalaman awal
mula menerbitkan buku pertamanya melalui jalur indie.
Pada tahun itu, antologi puisinya hanya
dicetak sebanyak 75 eksemplar dan dibagikan gratis, bahkan hingga kini belum
habis. Kini, dengan gencarnya penerbit mayor dalam mencari bibit potensial dan
berkembangnya media sosial, Bara mengajak penulis baru agar jangan takut. “Banyak
penulis bagus yang ‘gengsi’ mengeluarkan karyanya sehingga tidak tersebar di
pasar dengan baik. Kebanyakan teman penulis suka nggak pede menawarkan karyanya
ke penerbit,” ujar Bara.
“Social
media membantu menjual karya dan ada untuk dipakai, bukan untuk
disia-siakan,” tegasnya. Meski demikian, ia mengungkapkan pula bahwa sekalipun
jumlah followers berpengaruh pada
laku tidaknya sebuah karya, hal itu bukan penentu kualitas.
Selanjutnya, Dea Anugrah diminta untuk menyoroti
trend dan estetika kepenulisan. Mengawali kritiknya terhadap karya sastra
sekarang, ia mengutip Orhan Pamuk yang mengatakan: Siapa yang masih akan membaca
buku-bukunya 200 tahun lagi? Dari situ Dea menarik benang, bahwa jika penulis
sekelas Pamuk pun menyatakan ketidakabadian karyanya, bagaimana dengan
munculnya karya-karya sekarang yang standar kualitasnya dipertanyakan.
Terkait hal itu, penyair T.S. Pinang
memberikan pertanyaan diskusi pancingan mengenai perlu tidaknya karya yang buruk
diterbitkan menjadi sebuah buku. Dea menjawab dengan sebuah kesimpulan, “Jadi
tidak setiap buku perlu diterbitkan, apalagi buku yang buruk.” Ia bahkan
menjelaskannya dengan sebuah otokritik terhadap buku pertamanya yang tak
dianggapnya lagi karena kualitas yang menurutnya buruk.
Menyoroti soal trend, Dea berterus
terang bahwa ia tidak mengikuti prosa koran minggu, tetapi masih mencermati
puisi. “Puisi-puisi yang muncul di koran memiliki kecenderungan pola estetik
yang sama. Kesamaan gaya dalam puisi yang berulang tidak semata mengulang sisi
kreatif, tetapi juga bolong-bolong dari puisi sebelumnya,” jelasnya. Ia
mencontohkan tema yang cenderung seragam, misalnya mengangkat hal-hal remeh
temeh seperti tusuk gigi dan celana, juga penggunaan personifikasi di
sana-sini.
Sebagai pembicara terakhir, Irwan Bajang
merangkum fenomena penerbitan dan penulisan yang sudah dipaparkan sebelumnya
dari sudut pandangnya. Sejak era Facebook, banyak penulis yang lahir, mulai
dari membuat catatan-catatan di profil mereka sendiri, untuk kemudian di-like oleh teman-temannya dan dikomentari. Oleh
karena itu, otokritik terhadap karya memang susah. “Buku-buku ‘sampah’ kini
bisa saja bercampur dengan buku-buku yang berkualitas,” simpulnya.
Menciptakan
Ruang Diskusi antara Penulisan dan Penerbitan
Usai
penyampaian materi, diskusi yang hangat pun dimulai. Pertanyaan pertama adalah
bisa tidaknya menulis dijadikan sumber penghidupan. Dengan tegas, Bara
mengatakan, “Bisa!” dengan catatan tertentu. Ia memberikan tips-tips sampingan
selain dari kualitas tulisan itu sendiri, seperti bagaimana memasarkan naskah,
kerjasama dengan editor, tahu segmentasi pembaca, sambil tetap mempertahankan
idealismenya. Ia mengakui bahwa ia sempat tidak merasa cocok dengan “Kata
Hati”, bukunya yang sudah difilmkan. “Saya sebenarnya tidak ingin berada di
jalur pop, tetapi jenis itulah yang diinginkan publisher,” ceritanya. Mengesampingkan mutunya yang menurutnya tak
bagus, ia mengakui bahwa buku tersebut laku karena didukung dengan promosi yang
bagus.
Selain itu, Bara juga menegaskan pentingnya
personal branding di media sosial.
Ketika citranya bagus, maka buku tersebut memiliki kemungkinan untuk lebih laku
terlepas dari kualitasnya. Catatan yang terakhit ialah pentingnya penulis fokus
dan konsisten pada genre dan segmen tertentu. Ia mencontohkan kesuksesan
Nicholas Sparks yang terus berada di jalur romance
dan eksplorasi JK Rowling yang kurang berhasil di genre lain. Hal tersebut
berhubungan dengan citra/personal
branding yang telah penulis bangun sebelumnya.
Menyoal
otokritik dan kualitas, TS Pinang berpendapat bahwa sesungguhnya mutu buku
tidak selalu menjadi tanggung jawab penulis, melainkan juga pembaca/kritikus/reviewer sebagai pemberi feedback terhadap karya tersebut. “Para
pembaca yang kritis memiliki tanggung jawab moral untuk memberitahu si penulis
supaya karyanya menjadi lebih baik,” tegasnya. Ia mencontohkan bagaimana ia
menjadi mentor bagi beberapa orang, termasuk Bara, dengan kritik dan masukan
yang cukup tajam bagi para muridnya. Hasilnya, beberapa orang mampu
menghasilkan tulisan yang layak muat di media massa, meski kemudian beberapa di
antaranya menghilang. Tambahnya, selain pentingnya timbal balik sebagai penjaga
mutu karya, sebagai pondasi, proses belajar penulis harus diperdalam lagi. Salah
satunya dengan mempelajari filsafat dan buku-buku yang beyond theory.
Irwan Bajang menimpali bahwa masalah menjaga
mutu karya yang ada di lapangan yaitu adanya ‘penyakit’ sungkan terhadap teman
sendiri. “Teman adalah orang yang seharusnya justru memberi komentar pertama
yang paling keras, sebelum ada komentar dari luar yang bisa saja tercampur
dengan sentimen atau pertentangan ideologi,” papar Bajang. Tegasnya lagi,
“Penyakit puji-memuji harus kita bunuh!” Ia menambahkan, jangan meminta endorsement pada teman sendiri,
melainkan pihak lain, bahkan pihak yang bertentangan dengan penulis. Meski
demikian, ia sependapat bahwa jika menulis ingin dijadikan sumber penghidupan,
maka penulis harus pintar mencari celah.
Dari diskusi di atas, Bara menyimpulkan poin-poin
bagaimana cara menciptakan ruang diskusi karya yang baik. Pertama, kritikus
atau komentator harus memiliki pendapat yang beralasan, bertanggung jawab dan
memiliki ukuran yang jelas. “Sebab, komentar itu tidak hanya mendidik penulis,
melainkan juga pembaca,” jelasnya. Kedua, perlunya pendapat yang berimbang,
baik kritik yang frontal maupun yang penyampaiannya lebih santai. Dengan
demikian, selain menunjukkan kekurangan, juga bisa menampilkan kekuatan karya
tersebut. Terakhir, bagi penulis, ia menantang seberapa besar dan seberapa jauh
penulis ingin mencapai mutu terbaiknya. “Jangan takut. Jangan langsung patah
arang sekalinya dapat komentar kritis. Soalnya, kalaupun nanti sudah
mengeluarkan buku yang banyak dan baik, toh pasti tetap ada yang bisa menemukan
kekurangannya.” Ia menegaskan bahwa orang harus punya target dan tidak terpaku
pada komentar. “Ubahlah cara kita menyikapi komentar-komentar tersebut,”
tandasnya.
Pertanyaan berikutnya mengenai kritik
gaya kepenulisan ditanggapi oleh TS Pinang. Ia menjelaskan bahwa penulis harus
selektif melihat komentar, sebab gaya adalah persoalan selera. Lain halnya jika
yang dikomentari adalah hal yang berhubungan dengan teknik atau logika cerita.
Menutup diskusi tersebut, Dea mengungkapkan
ada cara lain yang lebih tak berisiko untuk menjaga mutu karya selain
mengandalkan kritik dari luar. Ia menceritakan seorang lelaki pemilik bar musik
jazz yang mendapat pencerahan ketika membaca sebuah buku. Lelaki itu kemudian
memutuskan untuk berhenti membuka bar dan menjadi penulis. Penulis yang
dimaksud tak lain adalah Haruki Murakami. “Intinya, santai saja. Jika butuh
motivasi, tak mesti berguru dengan orang. Baca buku pun memungkinkan orang
untuk termotivasi dan mendapatkan pencerahan.,” simpulnya.
Diskusi pun ditutup dengan sebuah
kesimpulan bahwa masih ada cara-cara yang bisa dilakukan untuk membuat suatu
karya terjaga mutunya tanpa mengesampingkan aspek penting dari industri
penerbitan. “Ada banyak cara menjadi penulis bagus, sebagaimana ada banyak cara
untuk menjadi penulis buruk,” tutup Dea.
Ruang Ekspresi
yang Guyub
Acara dilanjutkan dengan makan malam dan
bincang santai sebelum dimulainya pembacaan puisi dan performance art dari pengisi acara dan pengunjung. Sambil makan
para undangan dan pengisi acara disuguhi pembacaan puisi oleh Iqbal Syaputra
dengan seorang rekannya. Ia membaca puisi Indrian Koto dengan mengupayakan
sejumlah unsur lokal Minang. Usai makan, lampu dipadamkan dan pertunjukan sebenarnya
pun dimulai.
Ruangan JBS hanya diterangi sejenis par can yang berisi lampu halogen agar
penonton fokus pada pengisi acara. Ofemix Nuhansyah sebagai penampil pertama
membuka sesi ini dengan cara yang tak lazim dan bikin penasaran. Ia
membagi-bagikan tissue ke penonton dan meminta mereka menulis apa saja yang
terlintas. Usai dikumpulkan kembali, ia menggenggam tissue tersebut dan meletakkan
di dada sambil tengkurap sambil meminta tuan rumah, Indrian Koto, menginjak
punggungnya. Usai adegan tersebut, ia menyatakan bahwa dalam tengkurapnya ia
berdoa bagi semua pengunjung untuk tahun yang baru dan akan menyimpan tissue
tersebut sebagai hadiah tahun barunya. Unik, kan?
Pembacaan puisi pun dimulai. Anes Prabu
Sadjarwo membawakan Di Pangkuan Yogya
karya Iman Budhi Santosa yang terdapat di buku Ziarah Tanah Jawa. Selanjutnya
ada Rini Febriani yang membawakan haikunya yang berjudul Waktu, lalu Mas’od Kamil dengan Anak
Ladang dan Di Pinggir Kali.
Komang Ira Puspitaningsih membawakan puisi milik moderator diskusi, Dwi
Rahariyoso yang berjudul Ikan Asin. Kali Code buat YB. Mangunwijaya
merupakan puisi selanjutnya yang dibawakan oleh Kedung Darma Romansha,
dilanjutkan dengan Aku Mencintai Embun yang
Sederhana oleh Alif Rahmadanil. Selanjutnya, ada Klimaks Cinta milik Yayan Sutain yang dia bawakan sendiri, setali
tiga uang dengan Rumah dan Perjamuan
yang digawangi sendiri oleh penulisnya, S. Arimba.
Pembicara pun tak mau kalah. Bara
kembali menjadi yang pertama, kali ini dalam giliran membacakan dua sajaknya, Pada Paragraf yang Begitu Singkat dan Aku Ingin Mencintaimu dan Melupakanmu Dengan
Sederhana. Usai menyampaikan salam dari Gola Gong, giliran Syakky Yanky
membacakan puisi bertajuk Di Manakah
Waktu. Latief S. Nugraha mendefinisikan penyair dengan gayanya yang unik ketika membacakan Sebuah Catatan: Yogyakarta. Mata Air Akar Pohon milik Nur Wahida Idris
menjadi puisi selanjutnya yang dihayati oleh Eka Nusa P., dilanjutkan dengan
Ari A. Nasution yang membawakan Buruh III
dan Gurindam Perpisahan. Irwan Bajang
menjadi pembicara kedua yang maju membawakan tiga puisinya, Tik Tok Tik Tok, Pada Resepsi Pernikahan Itu,
dan Kepulangan Kelima yang juga
menjadi judul bukunya. Tak hanya Bajang yang membacakan hingga tiga puisi.
Cipta Ari Wibawa muncul dengan Gurindam
Penyair Muda, Seloka Empat Baris Puisi Penyair Muda, dan Impase.
Sambutan yang meriah diberikan kepada
Sunlie Thomas Alexander yang membacakan Lanskap
Leluhur dan Elegi Kuli Tambang
yang didedikasikan kepada kakeknya. Tak kalah meriah pula sambutan diberikan
ketika salah satu tuan rumah, Mutia Sukma, hadir membacakan puisi barunya
berjudul Agam. Hal yang berbeda
ditampilkan oleh Lany Rh. dengan membacakan dongeng berbahasa Inggris yang ia
ambil dari buku tiga dimensinya yang lucu.
Tak mau kalah dari pengisi acara lain,
tuan rumah pun ambil bagian dalam pembacaan. Indrian Koto membawakan dua
puisinya, Dari dalam Kampung dan Kau dalam Sebuah Sajak. Sambutan yang
diterimanya cukup membuat riuh suasana saat itu. Dea Anugrah menjadi pembicara
terakhir yang membacakan dua puisinya, Sebab
Matahari Tak Bisa Menghapus Kesedihan dan Misa Arwah, yang digadang-gadang akan menjadi judul bukunya yang
terbaru. Selanjutnya, Mahwi Air Tawar hadir membacakan puisi yang ditulis
anaknya sendiri, Are Timur Daya. Terakhir, sebagai gong, tak ketinggalan MC
kita, M. Fahmi Amrulloh membawakan puisi Gus Mus yang berjudul Teka-teki.
Dengan berakhirnya pembacaan puisi oleh
Fahmi tersebut, maka berakhirlah pula rangkaian acara Akhir Tahun di JBS 2013
pada pukul 21.00! Segenap kru JBS mengucapkan terima kasih untuk kehadiran dan
partisipasi semua pendukung acara ini. Semoga di tahun 2014, JBS mampu
memberikan pelayanan yang lebih baik dan menghadirkan agenda-agenda menarik
lainnya. Sampai jumpa di event
selanjutnya! (Keshia Sawitri) Foto dok. Lani Rh.
Pertamax!! Hehehe. Komprehensif deh! :D
BalasHapuscihuiiii..... pertamax dan satu2nya :-(
Hapusbaru baca :( keren!
BalasHapustaktambahi komen walaupun telat, sudah ada tiga jadinya :)
BalasHapus