MEMBACA “KUMIS PENYARING KOPI” DRAFT KUMPULAN CERPEN PINTO ANUGRAH
~ moh. fathoni
Usai membaca cerpen-cerpen Pinto dalam
kumpulan ini saya seperti kembali mempertanyakan: benarkah yang lampau
telah menjadi jejak-benda, yang lenyap, dan menghilang? Lalu, kita kini
duduk membaca sambil merenungi kenangan-nostalgia itu. Benarkah semua
itu menjadi masa lalu?
Usaha Pinto menjejaki masa lalu dalam
cerpen-cerpen ini karena budaya-tradisi, baginya, menjadi suatu
peristiwa; Peristiwa yang selalu terjadi, berulang, dan kembali hadir
pada masa kini; Ia rupanya tak benar-benar ditinggalkan atau dilupakan;
ia bersembunyi dalam kedalaman memori kolektif; ia menjelma menjadi,
menjadi diri yang memahami, sadar keberadaannya antara kehilangan dan
kehadiran, antara pemaknaan dan kesia-siaan. Barangkali
menarik menyimak apa yang dikatakan Rene Char, seorang penulis dan
penyair Prancis, bahwa kebudayaan adalah warisan yang diturunkan kepada
kita, tanpa surat wasiat. Dan kini, kita sebagai ahli warisnya;
sepertinya ini nasib kita yang menanggung beban itu. Bersediakah kita?
Sudah barang tentu tak ada pilihan lagi. Kitalah yang mesti merawatnya,
tak ada kata lain. Lantas, bagaimana semestinya merawat dan menunaikan
wasiat itu? Pertanyaan ini yang jadi persoalan dalam cerpen-cerpennya
Pinto. Suara nenek moyang, kata Afrizal, masih mengiang dalam
cerita-cerita Pinto. Bagaimana Pinto dengan budaya-tradisinya membangun
konstruksi realitas ceritanya?
Realitas merupakan peristiwa yang
terjadi. Sedang, cerita membingkainya dalam suatu peristiwa,
penggalan-penggalan yang dijalin dalam lintasan narasi. Dengan demikian
ia melibatkan ruang dan waktu, dimainkan melalui subjek-subjek, dikemas
dengan strategi alur dan struktur cerita. Cara ungkap Pinto bercerita
berkaitan dengan representasi yang memang sarat tradisi-budaya lokal
selayaknya diapresiasi. Kaitannya dengan realitas yang dibangunnya,
Pierce menilai bahwa realitas dan bahasa memiliki hubungan, seperti yang
saya pandang di dalam kumpulan cerpen ini, terutama titik temu antara
tradisi-keseluruhan budaya yang dibawa pengarang ke dalam cerita dengan
individu-invidu tokoh di dalam cerita. Pertemuan itu antara apa yang
disebut tindak-gagasan cerita dan peristiwa-gagasan pengarang bercerita.
Bagi Heidegger, ruang dan waktu bukanlah
panggung [arena] yang kita bisa naik atau turun, tetapi sebagai unsur
konstitusinya, yang sudah dibentuk melalui pengorganisasian sebelumnya
secara sosial di dalam masyarakat, semacam strukturasi Giddens. Baginya,
ini merupakan proses konstitutif lelaku menghadapi perubahan, di mana
ia berada, dan dipandang bukan proses natural, melainkan semacam skema
yang muncul ketika berhubungan dengan yang lain. Di sinilah letak
‘wacana’ tradisi-budaya yang diemban oleh pengarang mewujud. Apakah ia
hanya dijadikan entitas benda, atau dijadikan sebagai bentuk praktik
yang bersinggungan antara individu dengan determinasi tradisi. Nah,
bagaimana pengarang melihat hal ini?
Baiklah mari kita simak keduabelas
cerpen Pinto. Idealnya memang pengarang tak sekadar mereproduksi atau
mengeksplotasi kekayaan tradisi-budaya lokal semata. Dalam hal ini Pinto
seperti sadar, eksotisme tak bisa sepenuhnya diabaikan, dan banyak
dimunculkan dalam kumpulan cerpen ini. Seperti dalam Cerpen “Kotak
Kayu”, untuk menyebut diantaranya, berikut tulisnya,
“Ia tinggal di sebuah kota kecil yang
lengang, kota yang terletak di lembah antara dua gunung. Jika malam maka
alangkah sangat dingin dan kabut turun menyelimuti, jika matahari mulai
muncul dan naik maka kabut itu akan beranjak naik sedikit demi sedikit
ditingkahi oleh anak-anak berseragam putih-merah yang berlari ke
sekolah, dan jika petang mulai masuk ditandai dengan garis-garis ufuk
maka kabut itu akan mulai turun kembali yang dipecah oleh layangan
anak-anak yang menukik kian kemari.” Pun dalam Cerpen “Kotak Lalu,
Ibu” setting suasana dilukiskan sedemikian asrinya. “Gerimis yang tidak
tertepis. Kabut mulai turun. Pegunungan yang memunggungi Kota Lalu mulai
tertutupi.” Latar pegunungan, ladang, lembah, sungai, dan lainnya,
beserta kesan sejuk dan alami tak luput dari rekaman pengarang. Dalam
Cerpen “Kepundan Ayah” kesan itu semakin dekat, pembaca seperti
merasakan “angin lembah mulai turun dari lereng pegunungan”, lalu di
pagi buta, seperti yang dilakukan tokoh Ayah dalam cerita. “...Ia
mengendap di antara rerimbunan daun yang masih basah karena embun
semalam. Sedang dari jauh, sesayup, suara orang mengaji sesudah salat di
surau seberang sungai jatuh di telinganya.” Namun, kesan suasana tak
semata-mata soal keindahan dan kedamaian. Dalam Cerpen “Orang Rantai”,
Pinto menggambarkan sebaliknya. Tak seperti yang senyatanya, kampung
bisa saja berubah menjadi kota yang sangat sibuk. Pengarang seperti
menolak apa yang disebut dimuka, tentang eksotisme lokal yang
diembannya, dalam cerita. “Ini, bukanlah kehidupan senja di kaki
pegunungan yang sepi. Kota ini, kota yang membara oleh batubaranya. Kota
yang terletak pada sebuah lembah, dikurung oleh perbukitan, hingga jika
dilihat dari salah satu puncaknya persis seperti kuali. Kota kuali.
Tapi jangan pernah membayangkan, karena letak topografisnya kota ini
kota yang sejuk, yang tiap saat akan berhembus angin gunung atau angin
lembah. Kota ini berdebu dengan suhu yang amat panas, apalagi jika siang
hari. Sawahlunto, begitulah nama resmi kota ini. Dapat dikatakan bahwa
kota ini kota yang sibuk. Pecahan batubara terserak di mana-mana.
Lori-lori hilir-mudik mengangkut batubara dari lubang-lubang tambang
yang tak jauh dari pusat kota.” Meski demikian ia tetap
mempertahankan suasana itu, demi mempertahankan representasi
lokalitasnya; Meski kemudian muncul ambivalensi tentang apa yang
dibayangkan: keindahan, kedamaian, kesejukan, ketenangan, menjadi
kenangan masa lalu. Semua penggambaran itu berubah, seperti dalam cerpen
ini. Kita seperti diajak berlari, menelusuri lereng-lereng,
sawah-ladang, kebun, lalu tiba-tiba diajak berhenti, merenung dan
mempertanyakan: untuk apa itu semua? Apakah itu nyata, sekarang, dan
benarkah? Pengarang seperti bermain-main, mempermainkan pembaca dengan
strategi cerita. Seperti setelah berjalan lama, Anda dihadapkan pada
genangan. Pembaca ditarik menyelam kedalamnya: berkesan indah atau
tidak, silahkan. “Jika Anda datang ke kota ini, maka berdirilah di
salah satu puncak bukitnya.Anda akan lihat sebuah menara yang menjulang
tinggi hampir sejajar dengan puncak bukit itu. Sebenarnya bukanlah
sebuah menara karena akan Anda lihat di puncaknya asap hitam pekat
mengepul ke udara. Ya, itu sebuah cerobong asap dari Bunker Power Plan
milik Belanda. Persis di bawah cerobong asap itu terdapat sebuah gudang
tungku batubara yang besar, dipergunakan untuk membuat senjata dan
mesiu, tetapi sering juga digunakan untuk membuat peralatan tambang.” Seperti
cerpen-cerpen yang lainnya, Pinto berhasil mengolah alur dan
mengembalikan kesadaran pembaca, bahwa itu semua hanya angan-angan,
mimpi, bayangan, kenangan, dan ilusi semata. Dengan strategi ini, Pinto
seperti tak benar-benar menceritakan kenyataan. ini seperti sejalan
dengan Aristoteles, imajinasi dikaitkan dengan representasi mental
[phantasma]. Imajinasi , baginya, mampu menjembatani antara rasio dan
sensasi. Maka, imaji dan gambaran mental yang dimilikinya didapatkan
dari pengalaman melalui sensasi. Lalu dipahami oleh rasio melalui
imajinasi. Di sini, ketika membaca cerpen ini, imajinasi [imaginatio]
ikut serta dalam proses mengetahui fakta. Jadi, imajinasi menjadi
produk konstruksi, bukan sebagai fakultas, maka ia pun dapat menjadi
sumber ilusi. Setidaknya disini, barangkali, imajinasi Pinto merupakan
imajinasi dalam pandangan Agustinus, yang dibedakan diantaranya berasal
dari hal-hal yang pernah dialami; atau yang tidak dialami seperti
merujuk pada mitos dan sejarah. Apabila tak sekedar [re]produktif,
imaji-imaji yang dibangun disertai dengan refleksi. Sebagaimana Kant
menilai bahwa imajinasi memprakondisikan pengalaman dunia. Ia
menghadirkan [merepresentasi] deretan persepsi terhadap dunia
[pengalaman] dan pandangan yang sudah ada, baik dialami atau tidak
sebelumnya secara mental. Ia menghadirkan ulang sebagaimana sebelumnya,
sebelum dituliskan sehingga tampak ‘seolah-olah’ atau sungguh-sungguh
hadir. Antara fakta dan fiksi dikaburkan dalam alur. Ia melingkar
seperti meta-narasi. Pengarang sengaja menjadi tukang cerita,
berhati-hati menyampaikan cerita dan menjaga pembaca agar terus
mengikuti jalannya cerita. Maka, pembaca perlu serius, jeli dan
hati-hati mengikuti cerita. Meski kadang membingungkan dan membosankan
tapi keingintahuan telah ditanamkan dalam kata-kata, menjadi teka-teki. Bila
tak sekadara reproduksi, maka sikap reflektif perlu dimunculkan,
seperti ketika ada penjarakan [distansi] dan menyadari keberadaan
[ruang-waktu], dalam alur tertentu misalnya pada suatu cerita. Dalam
Cerpen “Anggang” misalnya, pembaca disadarkan bahwa tokoh ternyata
mengalami mimpi, ilusi, atau sejenisnya, sedikit berbeda dengan
“Kepundan Ayah”, tokoh dipermainkan narator, yang sekaligus pembaca
dibawa ke dalam kenangan tokoh, dari balik jendela, dari secangkir kopi
paginya. Imajinasi reflektif pun muncul dalam cerpen “Kota Lalu, Ibu”,
tradisi tak sekedar mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang lampau tetapi
dipandang lebih kritis, seperti yang dialami oleh Elfira, sebagaimana
ditutur-ceritakan pengarang. Pengarang seperti mengingatkan, memberi
peringatan kepada generasi muda sebagai pewaris hari esok untuk segera
menyadari asal-usulnya, memahami budayanya, dan keberadaan dirinya yang
tak bisa lepas dari tradisi lampau, sebelum terlambat. Sebelum semua itu
menjadi puing-puing, tiang penyangga ‘rumah’ hangus terbakar. Cerita
dibiarkan terus berlangsung. Ungkapan “kemana Ibu!” di akhir cerita
seperti bukan pertanyaan, tapi penegasan tentang kehilangan dan
pencarian berikutnya mesti dilanjutkan. Hal ini tampak pula dalam Cerpen
“Anggang”. Cara bercerita Pinto seperti allusion yang mengandung
permainan. Ia di awal-awal memberikan semacam isyarat atau pertanda,
seperti menyarankan kepada pembaca bahwa cerita-ceritanya hanya
“seolah-olah” atau cerita-fiksi ini mendekati pada realitas tertentu.
Cerita yang muncul ketika dalam momen atau peristiwa tertentu, semacam
pengandaian yang berhubungan dengan konteks dan pemaknaan yang
disarankan. Lantas, pembaca mengalami, mengikuti permainan yang
menghanyutkan, mencekam, penolakan, perlawanan, ketegangan, penundaan,
hingga penyadaran; bahwa cerita hampir berakhir. selanjutnya babakan
pemaknaan jejak-jejak yang dimulai. Inilah kepiawaian bertutur-cerita
Pinto. Baiklah, selain daya ungkap pengarang tak berhenti pada
labirin cerita, ada ekspresi kebudayaan yang tampak dalam keduabelas
cerita ini. Bila warisan tradisi tidak semata-mata dipandang sebagai
benda yang ditransmisikan secara turun-temurun, secara primordial, maka
identitas yang dideritanya tak sekedar taken for granted. Citra arketipe
dalam karya sastra dapat dilihat secara psikologis, historis, dan
antropologis. Kandungan yang muncul dalam citraan atau representasi
tidak lepas dari pandangan dunia yang melekat baik pada diri pengarang
maupun cerita yang dibangunnya. Citra arketipe ini bisa dikatakan
sebagai pemahaman apriori, meski demikian ia mampu menjelma dalam
representasi mimpi dan fantasi, kreasi dan imajinasi, fakta dan fiksi,
yang kemudian mengendap bersama ketaksadaran, yang berdaya produktif dan
kreatif dalam imajinasi pengarang. Yang perlu dicatat di sini hanya
mempermasalahkan karya sastra yang berhubungan dengan manusia dan
kebudayaan. Kemampuan teks fiksi yang menghadirkan sekaligus
menihilkan ini perlu ditelusuri secara hati-hati. Seperti kata Derrida,
teks tidak secara langsung menyuguhkan suatu pengetahuan, tetapi melalui
imitasi atas imitasi yang tiada henti. Dengan demikian, kita dapat
secara simultan menyisirnya dan bersamaan antara subjek dengan
peradigma-paradigma yang melatarbelakanginya. Seperti dalam Cerpen “Kota
Lalu, Ibu” tokoh Elfira bertindak antara sadar dan tak sadar.
“Tiba-tiba Elfira merasa ia seperti tergerak, ia, bergerak dengan
sendirinya. Tubuhnya, tubuh itu seperti tidak bisa dikendalikan. Dan,
mulut itu, bagian dari tubuh itu, berucap, berucap dengan sendiri,
“rumah, rumah, rumah!”. Seperti juga simbol-simbol referensial dalam
Cerpen “Pandam” dan cerpen keduabelas Pinto dalam kumpulan ini,
“Bakiak”. Tokoh-tokoh Gaek-Sawista [Kotak Kayu], Elfira-Ibu, Orang Tua
[Kota Lalu, Ibu], Ayah-Anaknya [Kepundan Ayah], Anggang-Ayah [Anggang],
Ibu-Anak [Lapik Buruk], mengisyaratkan pertentangan antara tradisi,
kenangan, masa lampau dengan konsep waktu budaya modern. Selebihnya,
karakter Anggang [Anggang], Mak Nui [Kopi Daun], tokoh-tokoh Loge,
Kodin, Kinang dan anjingnya dalam Cerpen Pandam, percakapan Aku-seorang
gadis di halte [Percakapan Hujan] pun begitu kuat mengandung asosiasi
pemaknaan, masih perihal tradisi-budaya lokal. Cara lain yang satire
juga digunakan misalnya dalam Cerpen Tiga Patahan, bahkan terasa parodi.
Di sini [Patahan 1: Alu Katentong] diceritakan seorang Ibu yang
ditinggal merantau anak-anaknya, hingga tersisa seorang anak bungsu.
“Kampung ini seperti mati. Apakah kau tetap memutuskan akan pergi juga?”
tanya ibunya. Semua orang, sekarang, pergi merantau. Bukan lelaki saja,
tapi perempuan juga telah pergi merantau. Lihatlah, kampung telah
lengang. Hanya orang-orang tua dan anak-anak yang tinggal. Ladang telah
semak, jadi sarang babi hutan. Sawah kering, tak lagi ada yang mengairi.
Di akhir cerita, tiba-tiba tokoh aku terbangun. Ia mendapati ibunya
tengah menumbuk air hujan yang menggenang dalam lesung. Ia berdendang
mendayu-dayu. Gaya seperti ini pun dipakai dalam Patahan 2; Semplong,
tetapi tidak terasa parodi atau satire, bahkan seperti klise tentang
suatu penyakit guna-guna [sampelong] yang akan hilang bila orang yang
bersangkutan pergi merantau atau melewati laut. Tokoh Kinan dikisahkan,
disampelong oleh Wan Tunjang, juragan petai dari Kampung Udik. Akibatnya
Kinan menderita penyakit aneh; lewat tengah malam ia memekik,
meraung-raung, mencakar-cakar tubuhnya, membenturkan kepala ke dinding,
dan seterusnya, sebab itulah ia tidak pernah tidur malam. Lalu ia
menjadi gunjingan orang-orang, oleh ibunya Kinan disuruh merantau ke
Jawa. “Jika kau menyeberang laut, maka penyakit itu akan hilang dengan
sendirinya.” Demikian kepercayaan orang-orang, dalam cerpen ini. Tidak
terasa apa-apa, seperti sudah menjadi pengetahuan umum, barangkali ini
tergantung pula tradisi pembacanya. Pun dalam Patahan 3: patah sunting,
tak seperti cerpen-cerpen yang lain, meski sama-sama bertolak belakang
dengan harapan kebanyakan pembaca dan mengejutkan, tetapi akhir cerita
dengan meninggalkan perempuan itu, “aku’ yang turun di tengah
perjalanan, tidak mengesankan apa-apa. Seperti Cerpen “Percakapan Hujan”
yang datar-datar saja, meski cukup dinamis dan dialog mengalir, tak
seperti cerpen-cerpen lainnya yang dijaga ketat struktur narasinya.
Namun, secara keseluruhan pesan Cerpen Tiga Patahan ini cukup terasa:
patah akibat tradisi merantau, patah sebab disempelong yang kemudian
juga merantau, dan patah karena [tokoh perempuan] ditinggal pergi lelaki
yang belum lama menikahinya. Masih perkara tradisi-budaya lokal,
Cerpen Bakiak dengan bentuk yang simbolik sekaligus eksplisit memberi
pemaknaan yang jelas, bahwa masa lalu [bila boleh disebut sejarah]
menjadi spirit menjalani hidup, mempertahankan keberadaan diri
[eksistensi] dalam masyarakat. Barangkali cerpen ini memang dipilih
sebagai penutup kumpulan cerpen, Pinto seperti mengingatkan kealpaan,
tentang sejarah, tentang nilai yang memang dinilai relevan dengan
kekinian. Tampaknya waktu dalam cerpen-cerpen Pinto sangat
diperhatikan, khususnya dalam Cerpen “Kota Lalu, Ibu”, dan waktu yang
menjelma dalam rangkaian sejarah seperti dalam Cerpen “Orang Rantai” dan
“Emma Haven”. Kedua cerpen ini berlatar historis seperti halnya Cerpen
Bakiak yang merujuk pada peristiwa 1965. Cerpen “Orang Rantai”
menceritakan pada kisaran tahun 1981 ketika pertambangan batu bara
dibuka di Sawahlunto. Orang-orang berdatangan, mereka menjadi buruh
tambang atau kuli pabrik batu bara. Mereka inilah orang rantai.
Sedangkan Cerpen “Emma Haven” berlatar ketika penjajahan kompeni,
Hindia-Belanda, pada kisaran tahun 1940, setelah Sekutu kalah dalam
Perang Pasifik. Emma Haven merupakan nama sebuah pelahuban kapal masa
itu, dari sinilah cerita bermula. Laya, Siti Kalaya, seorang perempuan
pribumi menikah dan mempunyai seorang anak dengan lelaki keturunan
Belanda, Mark van Schrik yang dipanggil dengan lidah Padang: Ipan Sarik.
Karena ditinggal Ipan Sarik pulang ke Belanda, pihak Laya berani
menghadapi Penghulu Suku. Dengan latar belakang ibu yang dulu pernah
terusir dari kampung halamannya [Kampung Pitalah] karena tanah mereka
dikuasai oleh pemerintah Hindia-Belanda. Kemudian, ketika Laya dilamar
oleh lelaki keturunan Belanda, ibu Laya berpesan, “Sekarang tentu kau
sudah bisa memutuskannya. Kau pasti sudah mengerti! Kita orang yang
terbuang dari kampung kita sendiri dan ibu berharap kita tidak akan
terbuang untuk kedua kalinya.” Tanah, ladang, rumah, dan kampung
halaman dalam cerpen-cerpen Pinto menjadi entitas yang sentral.
Tradisi-budaya lokal tak sekadar benda mati, barang warisan semata,
tetapi mempunyai nilai; kebanggaan, kehormatan, harga diri, identitas,
dan jiwa-spirit yang melekat sejarah yang kuat. Tokoh-tokoh orang tua,
baik ayah-ibu, kakek-nenek, merepresentasikan pewaris, leluhur yang
menjadi transmisi budaya. Sedangkan ahli waris tampak dalam
karakter-karakter muda. Terlepas dari semua itu, saya menaruh hati
pada percobaan Pinto dalam Cerpen Lapik Buruk. Cerita cukup sederhana,
tentang seorang anak dan ibu yang ditinggal menikah lagi oleh lelakinya.
Olahan sudut padang cerita khususnya, dalam kedua tokoh tersebut.
Mula-mula dari sudut pandang Ia-yang di luar, yang menggigil kedinginan,
beralih ke ia-yang di dalam, yang memandang punggung-nya yang di luar;
Ia berharap, ia-yang di luar masuk ke dalam rumahnya. Lalu kembali ke
ia-yang di luar, ia menyesal tidak membawa baju dingin. Kemudian balik
lagi, meloncat, dari dalam memandang ke luar. Dan seterusnya, gerak
bolak balik ruang dan waktu, dari dalam-keluar-dalam-keluar. “Mereka
saling membelakang punggung”. Ia-yang di luar ternyata seorang anak
dan ia-yang di dalam adalah ibunya. Saat saling memunggungi itu keduanya
bercakap-cakap, tidak, seperti bercakap-cakap; aku-pengarang sebagai
narator yang bercerita, yang bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Percakapan
itu masih tentang rumah. Meski sulit dan jauh, rumah tetap menjadi
tujuan kembali; pulang. Dalam angan-angan percakapan itu, dari punggung
terbalik itu, narator berkisah tentang masa lalu. Kenangan yang
menyakitkan. Seorang ibu yang ditinggal menikah lagi, ia tak dinafkahi
lagi. Sedang anaknya, tak dijelaskan apa ia merantau atau diusir, hingga
sampai pada cerita ketika hujan ia pulang dan ibunya di dalam rumah,
menunggu kedatangannya. Cerita berputar melingkar dalam keraguan dan
masa lalu menjadi pemberat untuk memasuki rumahnya, rumah ibunya.
“Masuklah, Nak! Masuklah! Ibu sudah lama menunggumu.” Ibu seperti telah
melupakan masa lalunya, suami atau bapak si anak yang disebutnya “lapik
buruk’. Selain itu, strategi sudut pandang narator demikian pun
digunakan dalam Cerpen “Orang Rantai”. Aku sebagai narator dalam
ruang-waktu mimpinya digeser menjadi saya-narator. Bagaimana Pinto dengan Damhuri dan Raudal? Seperti
halnya Pinto, Damhuri dalam beberapa cerpennya pun tak lepas dari
eksplorasi tradisi rantau. Dalam cerpen “Anak-anak Peluru” misalnya,
Damhuri berkisah melalui simbol-metafor anak yang merantau sebagai anak
peluru yang ditembakkan dan tak pernah kembali. Diceritakan seorang ibu
tiga anak [Rehan, Acin, dan Ruz] yang menunggu kembali dari rantau. Anak
rantau diibaratkan seperti peluru, ditembakkan dan tak pernah kembali.
“Lupa jalan pulang atau memang sudah tak berniat pulang?” Menunggu sama
dengan membunuh waktu, kesia-siaan, seperti “mengharap abu dari
tungku-tungku pembakaran yang tak pernah menyala!” Damhuri tampak,
dalam hal ini, seperti menyatakan kehilangan tradisi, identitas asalnya.
Ia pesimis. Adat dibiarkan lelah, tua lalu kematian tiba, tanpa ada
yang merawat. Meski di sisi lain, Damhuri memandang adat seperti
tertutup, terlalu primordial, dan tidak mau tahu dengan zaman. Di
digambarkan sebagai perempuan tua sangat kasar, tidak penyabar, dan
sulit diberi pengertian. Mencak-mencak, marah-marah, memaki dan mencela
tanpa sebab musabab yang jelas. Sepertinya Damhuri kecewa dengan
tradisinya. Ia kecewa dengan adat yang dikenalnya dulu: yang santun,
bijak dan amat penyayang. Meski kecewa ia tidak benar-benar
meninggalkannya, ia masih mempunyai harapan dengan tradisinya, meski ia
tidak punya alasan, seperti “entah kenapa masih saja ibu bersetia
menyia-nyiakan waktu menunggumu.” Sedangkan dalam Cerpen “Banun”,
Damhuri mengemas melalui gagasan yang reflektif dan cukup kritis.
Kehidupan Banun direpresentasikan dalam gagasan lelaku orang tani yang
semestinya. Meski gunjingan dan ejekan dikenakan kepadanya, banun tetap
dalam jalan hidupnya. Ia punya keyakinan, punya harapan, dan cara ideal
menjalani hidup. Ia tak mengikuti perubahan dan terbawa oleh orang
kebanyakan. Ia punya pandangan dan prinsip sendiri: tradisi dan kearifan
hidup. ”Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang
mereka tuduhkan, kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan
seumur-umur akan jadi orang tani.. Sebagai anak yang lahir dari rahim
orang tani, semestinya kalian paham bagaimana tabiat petani sejati.” Namun,
ironi dan terkesan fanatik ketika Banun mengajarkan prinsip hidupnya
kepada anak-anaknya. Ia tidak percaya dengan ‘yang lain’, seperti
lembaga pendidikan dan pengetahuan orang lain. Tetapi mengapa
anak-anaknya tidak disekolahkan? Tetapi mengapa Banun menerima
anak-anaknya bersuamikan guru? Kemudian dalam Cerpen “Menantu Baru”
mengungkapkan harapan orang tua agar anak-anaknya yang merantau ada yang
kembali ke kampung halaman, menemani dan merawatnya di masa tua. Tema
yang umum berlaku dalam masyarakat yang hidup di kampung, sekaligus
problem sosial sebagai dampak dari kesenjangan kota-desa. Penggambaran
adat Damhuri sarat pada perenungan cerita dan dialog. Sedikit, atau
bahkan jarang sekali ia mengungkapkan keindahan suasana alam secara
detail, setting hanya digunakan sebagai perujuk cerita. Terkecuali pada
kondisi tertentu, misalnya dalam Cerpen Tuba. “Lihatlah jalan umum
kampung kita! Persis seperti kubangan kerbau. Rusak parah dan sudah tak
layak tempuh...” tulisnya, yang justru sebaliknya, tidak menggambarkan
keindahan kampung, kampung udi yang terbelakang; atau “Di sana dibangun
masjid agung dengan biaya ratusan juta. Tak ada jalan umum yang tidak
diaspal beton, jaringan telepon dipasang, jalur transportasi dari dan ke
Taeh lancar.” Dalam Cerpen ini pun deskripsi mengenai kampung tetap
lekat, tetapi lebih pada kondisi kehidupan sosialnya. Seperti Pinto,
cara pengungkapan dalam Cerpen “Orang Rantai” ketika menggambarkan kota
pertambangan. Simak misalnya, “Nagari Sungai Emas tetap saja udik dan
makin terbelakang. Jalur transportasi dari dan ke Sungai Emas sulit.
Jalan-jalan kampung dibiarkan saja rusak parah, tak layak tempuh.
Guru-guru tetap saja menjadi tenaga honorer, entah sampai kapan.
Anak-anak muda menganggur, tak jelas juntrungan. Judi sabung ayam
menjadi permainan undi nasib yang amat menggiurkan. Ironis! Namanya
Sungai Emas, seolah-olah ada sungai yang berlimpah-ruah kandungan
emasnya. Seolah-olah negeri yang kaya sumber daya alam, padahal setiap
hari orang-orang berkeluh kesah karena hidup susah. Banyak anak-anak
cerdas terlahir di sana, tapi tak mampu melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi. Tak ada biaya. Maka, jalan satu-satunya adalah; pergi
merantau, mengadu peruntungan ke Jakarta. Ada yang menjadi pedagang kaki
lima, tukang jahit, petugas parkir, satpam, kuli bangunan, sebagian ada
pula yang mencopet (jika itu dapat disebut pekerjaan).” ... “Sebenarnya,
orang-orang nagari Sungai Emas tidak perlu menunggu penjelasan polisi
menyangkut sebab-sebab kematian almarhum bupati. Percuma saja aparat
hukum mampu mengusut dan menuntaskan kasus itu. Tak bakal berhasil.
Sebab, tabi’at pembunuhan keji itu tidak kasat mata. Lagi pula, di
nagari Sungai Emas, musibah kematian macam itu sudah lumrah dan kerap
terjadi. Meski diam-diam, hampir semua warga sepakat berkesimpulan bahwa
bupati mati karena di-tuba. Dibunuh secara halus melalui kekuatan gaib.
Namun, tidak mungkin disebutkan siapa pelakunya. Bila ada yang berani
menyebutkan nama pembunuh bupati, itu sama saja artinya dengan bunuh
diri. Kenekatan macam itu, hanya akan mengundang musibah baru, kematian
selanjutnya, bisa saja jauh lebih mengerikan.” Selain itu, Damhuri
juga tetap setia dengan kearifan tradisinya, seperti ungkapan “Hujan
uang di negeri orang, hujan batu di kampung kita, sebaiknya anak gadis
tak usah ke mana-mana, tetap sajalah di Sikabalapa!” dalam Cerpen Asung
Pitanah. Judul cerpen ini sendiri sudah menggambarkan kebiasaan dan
ungkapan sosial masyarakat, sebagaimana Banun, yang juga menjadi judul
cerpen Damhuri. Banun dalam kebiasaan Minang sering dilekatkan pada
perempuan, upiak banun, yang nakal, cerdik, mada, engak, atau tangka. Dalam
ekspresi penceritaan beberapa cerpen Damhuri cukup metaforik, seperti
ungkapan “anak-anak peluru”, “banun” , dan lainnya mirip dengan
“bakiak”, “alu katentong”, “sempelong”, “patah sunting”, “pandam”,
“lapik buruk”, dan sejenisnya yang digunakan oleh Pinto. Dengan
demikian, dari struktur cerita Pinto cukup ketat dan berhati-hati dalam
meramu bangunan cerita, meski di sini Pinto sedikit kurang eksplorasi
dalam perenungan yang reflektif. Lantas, bagaimana dengan Raudal?
Tidak jauh berbeda dengan Pinto dan Damhuri Muhammad, Raudal pun
menggunakan ekspresi dan eksplorasi tradisi-budaya lokal merantau.
Sepertinya memang tradisi dan latar belakang pengarang tidak bisa
dilepaskan begitu saja ketika membaca cerita-cerita yang cenderung
mengemban tradisi-budaya lokal tertentu. Dalam Cerpen “Rumah-rumah
Menghadap Jalan” Raudal bercerita tentang ‘aku’ yang tinggal bersama
kakek dan neneknya. ‘Aku’ menjadi penghibur, menjadi telinga yang rela
mendengarkan cerita-cerita tentang orang-orang merantau, keluh-kesah
sang kakek tentang mereka atau nasib dirinya, kesepian. Setelah nenek
meninggal, ‘aku’ penasaran dengan cerita kakek. Aku merantau,
meninggalkannya sendirian. Namun, di rantau, ‘aku’ justru semakin
memikirkan apa yang dikatakan kakeknya, tentang rumah-rumah menghadap
jalan. “Mungkin aku terperangkap begitu jauh dalam labirin ungkapan yang
mengharu-biru itu. Atau, mungkin karena aku berada di pusaran waktu
yang perlahan membuktikan kebenaran ungkapannya dulu.” Aku merasa asing
di perantauan. Kenangan kanak-kanak mendekat, membayang, romantika
kampung halaman. Tak sekadar nostalgia, dengan rumah-rumah menghadap
jalan Raudal bertanya, tak sekadar bertanya. Ia kecewa, mengapa jalan
air diabaikan, tak digarap. Baginya itu merupakan jalan lain, jalan yang
tak hanya membuka pintu kepergian, tapi juga untuk kembali. Di sini,
Raudal seperti Damhuri yang cenderung menaruh perhatian pada
persoalan-persoalan sosial dalam cerpennya. Sedikit berbeda, jika dalam
Cerpen “Banun” cenderung satire dengan kehidupan orang tani tidak
menawarkan semacam inovasi gagasan, Raudal dalam Cerpen “Rumah-Rumah
Menghadap Jalan” seperti menyuguhkan tawaran tentang transportasi laut
yang diabaikan. Meskipun keduanya sama-sama mempertanyakan wacana dan
kekuasaan yang mengabaikan lokalitas, problem-problem yang muncul dalam
masyarakat. Thus, yang membedakan Raudal dan Damhuri dengan Pinto
adalah struktur narasi dan konfliknya. Pinto seperti tak puas dengan
cara bercerita, ia lebih berhati-hati dan meramu cerita dan alur seperti
pararel, seperti pertanda atau isyarat. Gagasan tentang waktu-tradisi
dan lokalitas hampir sulit dibedakan, pun dalam tradisi-budaya lokal
yang selalu diselipkan atau dibangun utuh pada cerpen-cerpennya. Barangkali
tidak berlebihan atau cenderung menghakimi beberapa cerpen yang disebut
di atas, sebab tulisan ini tidak bermaksud menggeneralisir atas
keseluruhan pengarang-pengarang tersebut. Upaya pemaknaan dan pemahaman
tak lepas dari horison harapan pembaca, wacana dan paradigma yang
digunakan dalam teks dan konteksnya. Mari kita bincangkan.. Tabik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar