Judul : Lidah Bulan
Pengarang : Malkan Junaidi
Tebal : vi + 110 halaman
Ukuran : 14,8 x 21 cm
Penerbit : Indie Book Corner
Tahun terbit : 2011
ISBN : 978-602-9149-37-1
Harga : 35.000
Lidah Bulan
merupakan kumpulan Puisi Malkan Junaidi penyair yang tinggal di Blitar Jawa
Timur.
"Membaca sajak-sajak Malkan Junaidi, seperti menikmati lukisan-lukisan Salvador Dali. Setiap realitas di dalam sajaknya, mengandung realitas yang disembunyikan, menunggu di suatu tempat untuk ditafsirkan dengan pengalaman sadar dan bawah sadar, sementara pada saat yang bersamaan realitas itu pun dengan kekuatannya sendiri selalu siap melahirkan realitas yang baru." (Cecep Syamsul Hari, Penyair dan Redaktur Majalah Sastra Horison.)
“Puisi yang baik bukanlah puisi yang bertaburan diksi agar orang berkerut dahi, tapi bagaimana si penyair mampu memakai diksi tersebut tidak dibuat-buat. Ia lahir dari kesadaran imaji yang mengalir, sebuah pemahaman dan tafsir yang menyelami seluruh isi sajak, serta kenakalan ide yang wajar. Dan Malkan Junaidi berhasil melewati itu semua.” (Matdon, Rois 'Am Majelis Sastra Bandung)
“Membaca sajak-sajak Malkan Junaidi serasa diseret ke dalam sebuah labirin antah berantah lengkap dengan komedi putarnya. Metafora-metafora yang digunakannya mengejutkan. Puisi-puisinya mengalir begitu cepat dan deras lengkap dengan pusaran air sekaligus bebatuan yang ada. Namun bila kita ikuti terus deras alirannya ternyata tak sedikit perenungan juga hikmah dapat kita timba disana.” (Rukmi Wisnu Wardani, Penyair)
“Cenderung mengaduk-aduk sisi intelektualitas kita sebagai pembaca. Dari persoalan perubahan sosial, modernisasi, krisis identitas, kemanusiaan, lingkungan, spiritualitas, hingga perihal obsesi, harapan, cita-cita dan cinta yang personal sifatnya, diolah menjadi puisi-puisi yang dramatik. Dengan ramuan kata, frase, idiom dan metafora semaksimal mungkin, Malkan Junaidi menampilkan karya-karya kreatifnya yang akrobatik.” (Wayan Sunarta, Penyair, menetap di Bali)
“Tak banyak penyair yang memiliki cukup kesadaran dan kepiawaian untuk tidak membatasi kerangka pemikiran atau bahkan permenungan di dalam upaya menempuh titah kepenyairannya dengan berani tidak menajam hanya dalam keberkutatan terhadap tema tunggal atau pun pengucapan yang berjarak dengan daya hidup eksperimentatif. Malkan Junaidi, menurut saya, berada di dalam dan bersama kelompok penyair yang patut disebut tak banyak itu.” (Timur Sinar Suprabana, Penyair, tinggal di Semarang)
"Malkan Junaidi lihai menyusun kata dalam frasa dan kalimat, sehingga puisinya harus dicermati agar menemukan makna yang ingin disampaikan." (Nanang Suryadi, penyair, redaksi fordisastra.com)
Pengalaman Pembaca
Belut Bahasa di Balik Kutang
Istriku hamil. Ia melahirkan selembar cermin.
Ada sebatang hidung anjing dan sepasang mata sapi melekat di cermin itu.
(“Anak”, Malkan Junaidi, 2009)
Puisi, bentuk kesetiaan serta pengkhianatan paling radikal terhadap kata. Dalam puisi, kata kerap dipercaya sekaligus disangsikan. Inilah paradoks yang sukar dijamah isi dan diketahui arahnya, selicin geliat belut hidup dalam cekalan telapak tangan. Terpegang sekaligus terloloskan. Bahasa puisi bisa serupa belut itu. Saya pernah terkesima melihat sajian belut goreng dalam cobek ditaburi sambal hijau di kedai makan di pesisir utara. Fenomen belut cobek itu serupa bahasa yang tunduk, takluk, jinak, tak berdaya, dan pasti maknanya. Bila sajian belut cobek ditaruh di hadapan petikan puisi di atas, tampak betapa kata dalam puisi itu lebih licin dan lebih sulit dipegang. Fenomen dilihat. Kata dibaca. Keduanya menjelma teks yang membahasakan dirinya melalui medium berbeda. Benda dan kata. Benda hadir sebagai bentuk. Kata hadir sebagai konsep. Apa paradoksnya?
Istriku hamil. Ia melahirkan selembar cermin merupakan sajian bahasa yang menjalani siasat simbolis dan metaforis yang melahirkan paradoks menarik. Bukankah kehamilan akan melahirkan kehidupan, bayi manusia? “Cermin” adalah benda mati. Tak hidup. Namun, sebagai simbol dan metafor, kata “cermin” dalam puisi itu justru lebih hidup dan kongkrit ketimbang kata “bayi”. Inilah paradoks. Kenapa? Raut cermin persis menampakkan bayangan benda di depannya baik bentuk maupun warnanya sehingga cermin dapat menjadi media yang riang dan tak henti mematut-matut diri. Memang, bayi terwujud dari darah-daging ayah (orangtuanya), namun secara fisis betapa tak sama sosok ayah dan bayinya. Kata “cermin” secara simbolis dan metaforis lebih mampu menjadi representasi filosofis relasi ayah-anak yang lebih nyata ketimbang kata “bayi”. Siasat simbolis dan metaforis itu membuat kata “cermin” lebih berdaya mewadahi makna filosofis ayah-anak ketimbang yang disimbolkan dan dimetaforkan, yaitu “bayi”.
Tak hanya sampai di situ, ada paradoks lain menyusul kemudian. Ada sebatang hidung anjing dan sepasang mata sapi melekat di cermin itu. “Hidung anjing” dan “mata sapi” merupakan imaji keras kebinatangan. Metafor-metafor itu unik dan tajam. Bayi, anak manusia, yang dilambangkan melalui benda mati, yaitu “cermin”, ternyata tak cukup sebagai representasi. Simbol cermin itu butuh pelengkap lain dari khazanah fauna: anjing dan sapi. Hidung anjing tajam mengendus dan mata sapi polos mawas-membelalak. Apakah ini sinisme atas manusia, sindiran atas humanisme yang mengganggap manusia unggul karena daya pikirannya, lantaran kemampuan otaknya lebih unggul ketimbang satwa, ketimbang anjing dan sapi? Yang kutahu aku mesti menolak paruh hering itu mendarat lagi dan lagi di tubuhku, jawab Malkan dalam puisinya.
Memangkah manusia itu hewan berpikir? Hanya otakkah pembeda manusia dengan satwa? Humanisme semacam ini petaka besar eksistensi manusia. Sebuah skandal mengerikan. Betapa tak “mendalam” dan memalukan perbedaan manusia dengan binatang melalui humanisme semacam itu. Puisi “Anak” merupakan gundah eksistensial manusia semacam itu. Hingga sekarang, burung hering humanisme terbang ke mana-mana menguasai dunia. Siapa tak menolak patukan paruhnya? Modernisme adalah keturunan sah burung hering itu...
***
Aku pelarian sekarang
penjahat bukan tapi pengecut mungkin.
tolong sembunyikan aku di balik kutangmu.
(“Refugee”, Malkan Junaidi, 2009)
Puisi merupakan satu bentuk kehendak paling ambisius merengkuh-wujudkan “dunia baru” melalui kata. Ambisi sering menciptakan keadaan gila-gilaan. Tak heran kegilaan ekpresi dan ide amat akrab dalam puisi. Untuk apa? Menjamahkan kesadaran kepada ide serta ekspresi baru, barangkali itu terjadi lantaran ide serta ekspresinya di luar kelaziman pikiran dan ujaran sehari-hari. Inilah yang membuat puisi terkenal sebagai bentuk berbahasa yang cenderung asing dan gila bagi kebanyakan orang. Ini semacam “kutukan publik” atas puisi selama ini. Puisi menjadi sejenis “kejahatan bahasa” karena melanggar aturan normatif kebahasaan.
Saya juga menduga, puisi merupakan bentuk perlawanan terhadap kebosanan berbahasa sehari-hari. Puisi menjadi “bahasa pelarian” atau “bahasa yang terusir” dari kelaziman. Apakah para penyair terbuat dari tulang-darah-daging kejenuhan? Mereka selalu berambisi menemukan yang baru, mereka tak sudi berkubang dalam klise. Mulut mereka membenci bahasa yang mampat pesona. Barangkali tak keliru dikatakan di sini bahwa puisi masih ada ketika kata masih bisa memijarkan pesona. Pesona apa? Keliaran dan ketakterdugaan. Barangkali.
aku pelarian sekarang. penjahat bukan tapi pengecut mungkin. tolong sembunyikan aku di balik kutangmu. Inilah pengakuan Malkan dalam puisi “Refugee”. Betapa busyet pengakuan jumawa ini. Sungguh pengakuan ini sempurna sebagai bentuk pelarian dan keterusiran. Ia mengaku sebagai pelarian. Kenapa? Ia lari lantaran kota ini sudah berhantu. Hantu itu memburu sampai ke lapisan terdalam selimutku. Hantu, bentuk tak terjamah dan berkeliaran. Juga menakutkan. Hantu itu mengusirnya dengan kengerian. Hantu merupakan “kematian yang hidup”. Kenapa kematian terasa mengerikan? Bisa jadi lantaran kehidupan di dunia adalah satu-satunya hal saat ini yang membuat manusia bisa menjadi dirinya, dan kematian adalah bangkai kehidupan. Kematian adalah musnahnya diri. Betapa menakutkan, dan Malkan pun memilih naif: Tolong sembunyikan aku di balik kutangmu. Naif? Barangkali ini justru paling masuk akal dan tak a-historis.
Sembunyikan aku di balik kutangmu merupakan pernyataan “kembali ke asal” yang tampak genit. Benarkah? Setiap bayi manusia terjaga hidupnya dan besar dengan menghisap puting ibunya. Kutang adalah pelindung puting tempat air susu tercecap mulut bayi. Puting adalah mata air susu. Ternyata pelarian hingga di balik kutang itu justru upaya kembali ke asal paling radikal. Sama sekali bukan berarti pergi. Inilah paradoks. Pelarian itu sungguh merupakan pengungsian sakral yang merupakan bentuk “kembali ke asal” yang sejati. Makanya, pelakunya adalah penjahat bukan tapi pengecut mungkin. Benar bahwa pelarian itu tindakan pengecut, namun betapapun ia telah berani melakukannya lantaran ia mampu memupus rasa gentarnya sendiri.
Tujuan pelarian itu ingin meraih kembali kemurnian semurni air susu terpancar dari puting ibu. aku harus lari. aku buronan sekarang. aku akan sembunyi di tabung televisi... entah apa aku akan betah dengan semua suguhan ini. Keraguan inilah, kegamangan inilah, yang mendesak arah pelarian bukan lagi kepada benda-benda ciptaan modernitas semacam televisi dan uang. Pelarian itu ingin menemukan tempat kembali yang membuat kerasan, tempat yang membuatnya pulang ke titik awal yang mengembalikannya sebagai “manusia murni”, yang membuatnya mendapati kembali dongeng yang belum kaudongengkan sampai aku terlelap dalam-dalam. sampai aku lupa bahwa aku seorang pelarian.
“Puisi yang baik bukanlah puisi yang bertaburan diksi agar orang berkerut dahi, tapi bagaimana si penyair mampu memakai diksi tersebut tidak dibuat-buat. Ia lahir dari kesadaran imaji yang mengalir, sebuah pemahaman dan tafsir yang menyelami seluruh isi sajak, serta kenakalan ide yang wajar. Dan Malkan Junaidi berhasil melewati itu semua.” (Matdon, Rois 'Am Majelis Sastra Bandung)
“Membaca sajak-sajak Malkan Junaidi serasa diseret ke dalam sebuah labirin antah berantah lengkap dengan komedi putarnya. Metafora-metafora yang digunakannya mengejutkan. Puisi-puisinya mengalir begitu cepat dan deras lengkap dengan pusaran air sekaligus bebatuan yang ada. Namun bila kita ikuti terus deras alirannya ternyata tak sedikit perenungan juga hikmah dapat kita timba disana.” (Rukmi Wisnu Wardani, Penyair)
“Cenderung mengaduk-aduk sisi intelektualitas kita sebagai pembaca. Dari persoalan perubahan sosial, modernisasi, krisis identitas, kemanusiaan, lingkungan, spiritualitas, hingga perihal obsesi, harapan, cita-cita dan cinta yang personal sifatnya, diolah menjadi puisi-puisi yang dramatik. Dengan ramuan kata, frase, idiom dan metafora semaksimal mungkin, Malkan Junaidi menampilkan karya-karya kreatifnya yang akrobatik.” (Wayan Sunarta, Penyair, menetap di Bali)
“Tak banyak penyair yang memiliki cukup kesadaran dan kepiawaian untuk tidak membatasi kerangka pemikiran atau bahkan permenungan di dalam upaya menempuh titah kepenyairannya dengan berani tidak menajam hanya dalam keberkutatan terhadap tema tunggal atau pun pengucapan yang berjarak dengan daya hidup eksperimentatif. Malkan Junaidi, menurut saya, berada di dalam dan bersama kelompok penyair yang patut disebut tak banyak itu.” (Timur Sinar Suprabana, Penyair, tinggal di Semarang)
"Malkan Junaidi lihai menyusun kata dalam frasa dan kalimat, sehingga puisinya harus dicermati agar menemukan makna yang ingin disampaikan." (Nanang Suryadi, penyair, redaksi fordisastra.com)
Pengalaman Pembaca
Belut Bahasa di Balik Kutang
Istriku hamil. Ia melahirkan selembar cermin.
Ada sebatang hidung anjing dan sepasang mata sapi melekat di cermin itu.
(“Anak”, Malkan Junaidi, 2009)
Puisi, bentuk kesetiaan serta pengkhianatan paling radikal terhadap kata. Dalam puisi, kata kerap dipercaya sekaligus disangsikan. Inilah paradoks yang sukar dijamah isi dan diketahui arahnya, selicin geliat belut hidup dalam cekalan telapak tangan. Terpegang sekaligus terloloskan. Bahasa puisi bisa serupa belut itu. Saya pernah terkesima melihat sajian belut goreng dalam cobek ditaburi sambal hijau di kedai makan di pesisir utara. Fenomen belut cobek itu serupa bahasa yang tunduk, takluk, jinak, tak berdaya, dan pasti maknanya. Bila sajian belut cobek ditaruh di hadapan petikan puisi di atas, tampak betapa kata dalam puisi itu lebih licin dan lebih sulit dipegang. Fenomen dilihat. Kata dibaca. Keduanya menjelma teks yang membahasakan dirinya melalui medium berbeda. Benda dan kata. Benda hadir sebagai bentuk. Kata hadir sebagai konsep. Apa paradoksnya?
Istriku hamil. Ia melahirkan selembar cermin merupakan sajian bahasa yang menjalani siasat simbolis dan metaforis yang melahirkan paradoks menarik. Bukankah kehamilan akan melahirkan kehidupan, bayi manusia? “Cermin” adalah benda mati. Tak hidup. Namun, sebagai simbol dan metafor, kata “cermin” dalam puisi itu justru lebih hidup dan kongkrit ketimbang kata “bayi”. Inilah paradoks. Kenapa? Raut cermin persis menampakkan bayangan benda di depannya baik bentuk maupun warnanya sehingga cermin dapat menjadi media yang riang dan tak henti mematut-matut diri. Memang, bayi terwujud dari darah-daging ayah (orangtuanya), namun secara fisis betapa tak sama sosok ayah dan bayinya. Kata “cermin” secara simbolis dan metaforis lebih mampu menjadi representasi filosofis relasi ayah-anak yang lebih nyata ketimbang kata “bayi”. Siasat simbolis dan metaforis itu membuat kata “cermin” lebih berdaya mewadahi makna filosofis ayah-anak ketimbang yang disimbolkan dan dimetaforkan, yaitu “bayi”.
Tak hanya sampai di situ, ada paradoks lain menyusul kemudian. Ada sebatang hidung anjing dan sepasang mata sapi melekat di cermin itu. “Hidung anjing” dan “mata sapi” merupakan imaji keras kebinatangan. Metafor-metafor itu unik dan tajam. Bayi, anak manusia, yang dilambangkan melalui benda mati, yaitu “cermin”, ternyata tak cukup sebagai representasi. Simbol cermin itu butuh pelengkap lain dari khazanah fauna: anjing dan sapi. Hidung anjing tajam mengendus dan mata sapi polos mawas-membelalak. Apakah ini sinisme atas manusia, sindiran atas humanisme yang mengganggap manusia unggul karena daya pikirannya, lantaran kemampuan otaknya lebih unggul ketimbang satwa, ketimbang anjing dan sapi? Yang kutahu aku mesti menolak paruh hering itu mendarat lagi dan lagi di tubuhku, jawab Malkan dalam puisinya.
Memangkah manusia itu hewan berpikir? Hanya otakkah pembeda manusia dengan satwa? Humanisme semacam ini petaka besar eksistensi manusia. Sebuah skandal mengerikan. Betapa tak “mendalam” dan memalukan perbedaan manusia dengan binatang melalui humanisme semacam itu. Puisi “Anak” merupakan gundah eksistensial manusia semacam itu. Hingga sekarang, burung hering humanisme terbang ke mana-mana menguasai dunia. Siapa tak menolak patukan paruhnya? Modernisme adalah keturunan sah burung hering itu...
***
Aku pelarian sekarang
penjahat bukan tapi pengecut mungkin.
tolong sembunyikan aku di balik kutangmu.
(“Refugee”, Malkan Junaidi, 2009)
Puisi merupakan satu bentuk kehendak paling ambisius merengkuh-wujudkan “dunia baru” melalui kata. Ambisi sering menciptakan keadaan gila-gilaan. Tak heran kegilaan ekpresi dan ide amat akrab dalam puisi. Untuk apa? Menjamahkan kesadaran kepada ide serta ekspresi baru, barangkali itu terjadi lantaran ide serta ekspresinya di luar kelaziman pikiran dan ujaran sehari-hari. Inilah yang membuat puisi terkenal sebagai bentuk berbahasa yang cenderung asing dan gila bagi kebanyakan orang. Ini semacam “kutukan publik” atas puisi selama ini. Puisi menjadi sejenis “kejahatan bahasa” karena melanggar aturan normatif kebahasaan.
Saya juga menduga, puisi merupakan bentuk perlawanan terhadap kebosanan berbahasa sehari-hari. Puisi menjadi “bahasa pelarian” atau “bahasa yang terusir” dari kelaziman. Apakah para penyair terbuat dari tulang-darah-daging kejenuhan? Mereka selalu berambisi menemukan yang baru, mereka tak sudi berkubang dalam klise. Mulut mereka membenci bahasa yang mampat pesona. Barangkali tak keliru dikatakan di sini bahwa puisi masih ada ketika kata masih bisa memijarkan pesona. Pesona apa? Keliaran dan ketakterdugaan. Barangkali.
aku pelarian sekarang. penjahat bukan tapi pengecut mungkin. tolong sembunyikan aku di balik kutangmu. Inilah pengakuan Malkan dalam puisi “Refugee”. Betapa busyet pengakuan jumawa ini. Sungguh pengakuan ini sempurna sebagai bentuk pelarian dan keterusiran. Ia mengaku sebagai pelarian. Kenapa? Ia lari lantaran kota ini sudah berhantu. Hantu itu memburu sampai ke lapisan terdalam selimutku. Hantu, bentuk tak terjamah dan berkeliaran. Juga menakutkan. Hantu itu mengusirnya dengan kengerian. Hantu merupakan “kematian yang hidup”. Kenapa kematian terasa mengerikan? Bisa jadi lantaran kehidupan di dunia adalah satu-satunya hal saat ini yang membuat manusia bisa menjadi dirinya, dan kematian adalah bangkai kehidupan. Kematian adalah musnahnya diri. Betapa menakutkan, dan Malkan pun memilih naif: Tolong sembunyikan aku di balik kutangmu. Naif? Barangkali ini justru paling masuk akal dan tak a-historis.
Sembunyikan aku di balik kutangmu merupakan pernyataan “kembali ke asal” yang tampak genit. Benarkah? Setiap bayi manusia terjaga hidupnya dan besar dengan menghisap puting ibunya. Kutang adalah pelindung puting tempat air susu tercecap mulut bayi. Puting adalah mata air susu. Ternyata pelarian hingga di balik kutang itu justru upaya kembali ke asal paling radikal. Sama sekali bukan berarti pergi. Inilah paradoks. Pelarian itu sungguh merupakan pengungsian sakral yang merupakan bentuk “kembali ke asal” yang sejati. Makanya, pelakunya adalah penjahat bukan tapi pengecut mungkin. Benar bahwa pelarian itu tindakan pengecut, namun betapapun ia telah berani melakukannya lantaran ia mampu memupus rasa gentarnya sendiri.
Tujuan pelarian itu ingin meraih kembali kemurnian semurni air susu terpancar dari puting ibu. aku harus lari. aku buronan sekarang. aku akan sembunyi di tabung televisi... entah apa aku akan betah dengan semua suguhan ini. Keraguan inilah, kegamangan inilah, yang mendesak arah pelarian bukan lagi kepada benda-benda ciptaan modernitas semacam televisi dan uang. Pelarian itu ingin menemukan tempat kembali yang membuat kerasan, tempat yang membuatnya pulang ke titik awal yang mengembalikannya sebagai “manusia murni”, yang membuatnya mendapati kembali dongeng yang belum kaudongengkan sampai aku terlelap dalam-dalam. sampai aku lupa bahwa aku seorang pelarian.
Pesan dengan menghubungi 081802717528. http://jualbukusastra.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar