Elegi Angin Pagi (Novel)
Penulis : Hary PR
Tebal : 237 halaman
Ukuran : 13 x
19,5 cm
Harga :
Rp. 33.000
... Dan angin, sebagai tokoh utama dalam cerita ini, pada akhirnya menapak
puncak nasib getitrnya. Bukan nasib getir karena percintaan yang gagal, tetapi,
justru saat ia, seorang sarjana muda, mantan aktivis, dipinang masyarakat untuk
mengabdi di tanah kelahirannya sebagai calon kepala desa, diculik dan
dilepaskan setelah hampir setengah gila.
Berikut pembacaan atas nover yang dimaksud, ditulis Taufiq WR Hidayat yang diambil dari:http://taufiqwrh.blogspot.com/2009/05/catatan-kecil-elegi-angin-pagi.html
Bukan nasib getir karena percintaan yang gagal
bersama Agung atau Anja, atau hubungan yang tak harmonis dengan dosennya yang
membuatnya kemudian ditahan polisi. Akan tetapi, satu hal: justru pada saat ia,
sebagai sarjana muda, dipinang masyarakat untuk mengabdikan di tanah
kelahirannya sebagai calon kepala desa ia malah diculik, dianiaya dan
dilepaskan setelah hampir setengah gila. Jadi, bukan kebetulan, jika nama tokoh
utama ini, Angin, bertemu dengan ungkapan "Elegi Pagi" yang maknanya lebih
kurang, angin pagi yang semestinya segar, menyejukkan, terimbas panasnya intrik
politik. Lagu sedih pantas mengiringinya.
Sebuah novel yang menampilkan politik
dalam konsep masyarakat yang paling bawah. Pesans ekarang dengan menghubungi 081802717528
Berikut pembacaan atas nover yang dimaksud, ditulis Taufiq WR Hidayat yang diambil dari:http://taufiqwrh.blogspot.com/2009/05/catatan-kecil-elegi-angin-pagi.html
Catatan Kecil buat Angin yang Pagi
Oleh: Taufiq Wr. Hidayat
Membaca
novel yang ditulis Hari Pr. berjudul "Elegi Angin Pagi", terasa oleh
kita udara segar pedesaan, harum tanah sehabis tersiram embun, dan wangi
daun-daun pohonan mahoni. Kesegaran pedesaan yang ditulis Hari dalam
novelnya mengajak pembaca larut ke dalam sebuah ruang dinamisasi
masyarakat pedesaan yang masih murni dari nilai-nilai individualistik,
masih menganut dengan kental nilai-nilai tradisi tanpa terkotori oleh
kegiatan kota yang menjauh dari realitas kesejatian hidup. Kondisi itu
dalam pandangan Hari Pr., mungkin adalah sebentuk kondisi yang mapan
(sehingga harus dibongkar), atau mungkin kondisi rawan yang rentan
terhadap pengaruh dari luar. Desa tidak menjadi eksklusif, ia menjadi
inklusif sehingga ia menerima pengaruh dan wacana dari luar potensinya
sendiri. Dengan demikian, desa yang digambarkan sedemikian ideal dalam
novel "Elegi Angin Pagi" yang baru-baru ini diluncurkan itu, mengalami
distorsi dan kegamangan nilai-nilai. Persoalan ini dimulai dari
perjalanan sang tokoh Angin. Angin adalah orang desa yang melanjutkan
kuliahnya di desa. Di desanya, ia menghadapi realitas masyarakat yang
tidak berpendidikan, sehingga keberadaan sang Angin menjadi tumpuan
harapan warga desanya.
Dengan
berbekal semangat dan kehendak untuk memberikan yang terbaik bagi
desanya, sang Angin pun mulai mengabdi pada desanya itu. Tapi, apa yang
terjadi? Sang Angin harus menghadapi dinamika politik di desa terkait
kepemimpinan desa. Ketika ia tengah memberikan sebentuk pengabdian bagi
desanya, ia malah diculik dan dilepaskan setelah hampir mengalami
goncangan jiwa. Mungkin setting waktu novel ini adalah di tahun-tahun
masa Orde Baru, di mana marak penculikan dan pelarangan atau sensor.
Angin dianggap sebagai anak-cucu PKI karena ia sangat suka menyanyikan
lagu Genjer-genjer ciptaan kakeknya. Namun, ada juga ironi di dalam
dialognya, yakni ketika Angin dilarang menyanyikan lagu itu, Angin
menjawab: "Ini kan sudah jaman kebebasan...".
Aliterasi
dan penggambaran obyek yang dikisahkan Hari Pr. dalam novelnya cukup
menggugah, sehingga kita akan terbawa pada kondisi penceritaan yang
lancar dengan dialog-dialog yang mengalir. Di samping itu, perjalanan
tokoh Angin kemudian menjadi sebuah gambaran sebuah perjalanan anak muda
yang gelisah melihat dinamika faktual dalam kehidupan desanya. Ini
cukup sejalan dengan pengalaman Hary Pr. sendiri sebagai seorang aktivis
mahasiswa di Banyuwangi sejak tahun 2000-an hingga di tahun 2005,
sampai ia terpilih sebagai salah satu anggota KPUD Banyuwangi. Menjadi
menarik, karena novel ini cukup kental menggambarkan sebuah pergulatan
batin sang Angin dari kehidupannya secara pribadi hingga kiprahnya bagi
orang banyak di desanya. Pergulatan dan perjalanan ini menanggung resiko
yang tidak enteng bagi sang Angin, di mana ia harus menghadapi
intimidasi dan pengkucilan, ia harus menghadapi benturan nilai-nilai
yakni antara nilai-nilai yang ia yakini selama ini dengan nilai-nilai
faktual di tengah dinamika masyarakatnya sendiri.
Novel
ini memberikan sebentuk gambaran kepada kita, bahwa sebuah pencapaian
memang memerlukan aktualisasi yang tidak enteng, di mana tokoh dalam
novel ini harus berhadapan dengan "kegendengan-kegendengan" perjalanan
masyarakat dan ulah para tokoh yang berambisi meraih kekuasaan desa.
Penggambaran desa dengan novel ini adalah gambaran aktual negeri kita
saat ini, bukan?
Ada
yang menarik dari novel Hari Pr. "Elegi Angin Pagi", yakni novel ini
menggambarkan juga dinamika budaya Banyuwangi dari banyak sisi
penceritaan dan dialog-dialognya. Ada setting kehidupan dan 'cara' Using
dan Mataraman. Sebagaimana kita ketahui bersama, Banyuwangi adalah
sebuah wilayah yang memiliki kemajemukan etnis. Sehingga dapatlah kita
sebut di sini, bahwa budaya Banyuwangi adalah budaya kerakyatan.
Kaitannya dengan hal itu, novel "Elegi Angin Pagi" cukup basah di dalam
menggambarkan realitas budaya Banyuwangi sebagai sebuah kekuatan
lokalistik.
"Elegi
Angin Pagi" adalah novel yang cukup mengejutkan yang telah terbit dan
ditulis oleh orang Banyuwangi. Dalam sejarah kesusastraan di Banyuwangi,
baru tiga novel yang sudah terbit, yakni "Kerudung Santet Gandrung"
karya sastrawan gaek Hasnan
Singodimayan, "Berdirinya Kerajaan Macan Putih" karya Armaya (yang juga
penulis senior Banyuwangi), dan ketiga adalah "Elegi Angin Pagi" yang
ditulis oleh penulis baru, Hary Pr. yang sehari-hari kita mengenalnya
bukan seorang penulis sastra. Ini artinya, ada potensi yang terpendam
dalam diri Hary Pr. di dalam melahirkan sebuah karya sastra, di mana
novelnya sebagian besar menggambarkan kecemasan dan kegelisahan batinnya
memandang realitas kehidupan politik di Banyuwangi. Kemunculan novel
Hary Pr. ini perlu kita rayakan sebagai seorang bayi yang baru lahir di
jagat kesusastraan Banyuwangi, agar karya-karya sastra terus
bermunculan. Kritik sastra kita perlukan, namun mari kita menunggu babak
baru kebangkitan sastra di Banyuwangi setelah ini. Mudah diucapakan,
tetapi harus kita buktikan, bukan? Semoga.
Banyuwangi, 29 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar